Rabu, 26 Juni 2013

Ada Cerita di Balik Kesemrawutan Cirebon

Hari Sabtu (4/5) bulan Mei lalu, aku meluncur dari dataran tinggi Kuningan menuju kota pelabuhan di Pantai Utara Jawa yang amat terkenal, Cirebon. Tak begitu jauh untuk menempuh perjalanan dari Kuningan menuju Cirebon. Mengendarai mobil hanya butuh waktu kurang lebih tiga puluh menit dengan kondisi jalanan yang lumayan lapang.

Panas dan ruwet, itu kesan pertamaku saat memasuki kota yang hanya berjarak dua atau tiga kilometer dari bibir laut itu. Pemandangan seperti ini mengingatkanku pada kota pelabuhan lainnya di Jawa. Jakarta, Surabaya, Semarang, tiga kota pelabuhan yang berstatus internasional, adalah prototipe kota pelabuhan Jawa. Minim perhatian terhadap urusan penataan kota dan ketidaklayakan infrastruktur menjadi pemandangan khas anomali yang selalu menonjol di kota-kota pelabuhan tersebut.

Kalau aku tak salah mengingat, sejarawan kenamaan Prancis, Dennys Lombard, memasukan kota Cirebon ke dalam kategori kota pelabuhan kuno. Ciri yang menonjol pada jenis kota ini adalah penataan ruang yang kurang teratur. Dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2, diperlihatkan Dennys Lombard betapa Kota Cirebon sangat jauh dari penataan yang terstruktur rapi. Kenyataan inilah yang membedakan kota Cirebon dengan kota pedalaman Jawa seperti Yogyakarta atau Solo. Dibandingkan Cirebon, kedua kota belakangan ini membangun peradabannya dengan berpedoman pada konsep yang dikenal dengan istilah konsep “kosmologi”.



Tapi, benarkah kota Cirebon memang tak berkonsep seperti dikatakan Dennys Lombard? Jika dilihat dari kecenderungan kota-kota kuno yang menganut ideologi arsitektural kosmologis Hindu, Cirebon memang tidak sesuai dengan konsep tersebut. Malah, terkesan kosmologis Hindu sama sekali tidak nampak dalam kota ini. Penataan Kraton Kasepuhan, yang dalam pandangan umum kraton Jawa diidentikan sebagai pusat kosmos, tidak dibarengi dengan penataan ruang di luar dinding keraton. Pertumbuhan pemukiman padat yang tidak terkontrol di luar dinding krraton menjadi penyebab utama kesemrawutan kota ini.
Terlepas dari itu semua, Cirebon tetap memberi kesan pada kunjungan pertamaku ke kota ini. Kota ini adalah kota tua yang telah hidup sejak abad awal pengislaman. Kota ini meninggalkan jejak-jejak sejarah jika kita mau melihatnya secara lebih dekat. Peninggalan sejarah bisa kita temukan di tiap-tiap sudut kota dari mulai ceceran bangunan tua, folklore yang diceritakan dari mulut ke mulut, hingga penganan tradisional yang banyak dijajakan di emperan jalan. Semuanya mewarisi jejak masa lalu kota pelabuhan bernama asal Caruban yang berarti Udang itu.

Salah satu tempat paling suci yang aku kunjungi selama berada di kota ini adalah Makam Sunan Gunung Jati. Makam inilah yang dikunjungi para peziarah dari berbagai pelosok negeri. Tak hanya datang dari Jawa, para peziarah tak jarang berasal dari luar Jawa seperti Sumatera dan Kalimantan. Ratusan orang datang berombongan setiap harinya untuk memanjatkan doa di makam orang suci ini. Sejak dahulu kala, Sunan Gunung Jati dihormati dan dimasukan ke dalam jajaran ulama penyebar agama Islam di Pulau Jawa.

Saat aku memasuki area makam, gema suara doa-doa mengalun khusuk mengisyaratkan hati ini agar merendahkan diri. Aku pun tak sembarangan saat memasuki makam ini. Begitu dihormatinya sang ulama, sampai-sampai tak putus-putusnya orang berdatangan demi melihat makam Sunan Gunung Jati.


Berjalan-jalan mengamati makam, aku menemukan sisi keunikan bangunan makam. Dinding-dinding makam sebagian berhiaskan keramik-keramik yang berasal dari Cina. Sebuah pemandangan yang bagi orang awam sepertiku tampak aneh. Mengapa makam orang suci ini berhiaskan keramik-keramik dari Cina?
Menurut penuturan warga setempat, sejak zaman dulu Sunan Gunung Jati dikenal sebagai ulama yang memiliki hubungan dekat dengan orang-orang Cina. Bahkan, salah satu isteri sunan diyakini adalah seorang putri Cina. Bukti dari cerita ini bisa ditemukan di kompleks makam isteri Sunan Gunung Jati. Terletak persis bersebelahan dengan makam sunan, makam isteri Sunan Gunung Jati diwarnai dengan benda-benda yang biasanya hanya terdapat di klenteng Cina. Selain dinding komplek makam yang bercat merah dan dipenuhi pernak-pernik keramik dari Cina, di depan makan putri Cina tersebut terdapat tempat peletakan dupa yang identik sekali dengan tempat ibadah agama Konghuchu.


Keberadaan Sunan Gunung Jati dan akulturasi yang terjalin antara budaya Islam dan Cina, menguatkan posisi kota Cirebon sebagai kota pelabuhan yang selalu “terbuka”. Cirebon tidak hanya mampu mempertahankan perbaduan kebudayaan Jawa-Sunda yang telah melekat lama pada masyarakatnya, tetapi juga memberi kesempatan bagi masuknya unsur-unsur budaya lain. Barangkali tak salah, kalau Cirebon disebut sebagai pintu gerbang sekaligus tempat persilangan budaya yang beragam. Budaya Jawa-Sunda, budaya Islam, dan budaya Cina, berpadu menjadi orkestra yang indah.
Begitulah yang terpikir di benakku saat aku mengagumi kota ini di balik panas dan kesemrawutanya. Nilai-nilai historis ibarat panggung keseharian tempat di mana maysrakat Cirebon memainkan peranannya. Cirebon, si Roma dari Timur itu, tetap menarik bagi diriku.

Selasa, 25 Juni 2013

Mengenang Kejayaan Sebuah Moda Transportasi Tradisional

Matahari belum sejengkal keluar dari ufuk Barat, tapi aktivitas di lapangan utara Stadion Maguwoharjo Minggu pagi (16/6) sudah nampak hidup. Jalan aspal menuju stadion kebanggaan warga Sleman ini dipenuhi kendaraan berlalu-lalang. Sementara di salah satu sudut lapangan bertanah coklat di luar stadion telah siap berjejer seratusan gerobak sapi yang akan ikut memeriahkan acara Festival Gerobak Sapi Yogyakarta. Festival gerobak sapi menjadi ajang bersilaturahmi bagi para bajingers, sebutan untuk komunitas gerobak sapi di Yogyakarta.

Diselenggarakannya festival gerobak sapi tidak lepas dari kesadaran para bajingers terhadap benda warisan leluhur yang kian dilupakan di era sekarang. Ketika masyarakat sekarang beralih menggunakan alat transportasi bertenaga mesin, maka sebentuk moda transportasi tradisional bertenaga hewan mau tidak mau harus ditinggalkan. Gerobak sapi, alat transportasi tradisional peninggalan nenek moyang, kini tinggal menjadi benda antik di tengah menjamurnya kendaraan bermotor. Banyak orang yang tidak tahu bahwa pada masa kejayaannya gerobak sapi pernah menjadi moda trasnportasi utama di Jawa.

Pemanfaatkan gerobak sapi sebagai moda transportasi bisa dirunut sejak era sebelum kedatangan bangsa Belanda ke Tanah Jawa. Masyarakat Jawa menjadi kelompok masyarakat agraris yang memodifikasi gerobak sapi ini menjadi alat pengangkut. Petani Jawa menggunakan gerobak sapi untuk mengangkut hasil panen mereka dari sawah menuju ke pasar. Hasil-hasil bumi berupa sayuran dan buah-buahan selanjutnya dikirimkan ke pasar-pasar tradisional yang jaraknya tidak terlampau jauh dari perkampungan mereka.

Seiring dengan merebaknya perkebunan tebu di Jawa, fungsi gerobak sapi menjadi semakin penting. Pengangkutan tebu setiap masa panen menuju ke pabrik-pabrik biasa dilakukan dengan menggunakan gerobak sapi. Gerobak sapi menjadi komponen penting dalam sejarah industri gula sebelum kereta api mulai dikenalkan pada akhir abad ke 19.
 
 

 
Festival gerobak sapi yang baru pertama kali digelar diharapkan dapat membangkitkan kembali kesadaran masyarakat terhadap keberadaan moda transportasi warisan leluhur ini. Festival ini tidak hanya berusaha melestarikan gerobak sapi yang kini jumlahnya sudah terbilang jarang, tetapi juga untuk menjadikan gerobak sapi sebagai ikon Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

 
Festival ini diikuti oleh 170 anggota komunitas gerobak sapi. Para perserta yang berasal dari lima kabupaten di Provinsi DI Yogyakarta mempersolek gerobak sapi mereka dengan berbagai macam asesoris agar terlihat lebih unik. Semakin klasik penampilan gerobak sapi, maka semakin unik pula gerobak sapi tersebut. Selain keunikan yang terlihat dari bentuk gerobak dan asesorinya, para bajingers atau kusir gerobak sapi yang menggunakan pakaian adat Jawa memberikan nuansa klasik pada moda transportasi ini.
 

 
 
Dibuka oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono, festival gerobak sapi kemudian dilanjutkan dengan arak-arakan mengelilingi perkampungan di sekitar stadion Maguwoharjo. Sebagai sajian penutup, festival ini dimeriahkan dengan sejumlah pertunjukan kesenian rakyat. Secara keseluruhan festival ini mengingatkan kepada kita semua akan kejayaan sebuah moda transportasi yang kini telah ditinggalkan.
 
 

Kamis, 13 Juni 2013

Tanah Kelahiran di Tapal Batas Indonesia-Malaysia

Bulan Juni adalah bulan bersejarah. Bulan Juni identik dengan bulan Bung Karno. Di bulan Juni, Bung Karno, sang putra fajar itu lahir. Di bulan Juni pula Bung Karno mencetuskan gagasan Pancasilanya. Tak heran kalo bulan ini diperingati setiap tahun oleh sluruh rakyat Indonesia.

Bila bangsa ini punya kesan mendalam pada bulan berangka 6, maka aku pun tak mau kentinggalan. Entah kebetulan atau tidak, aku juga dilahirkan di bulan ini. Tepat pada tanggal 13 Juni, 24 tahun yang lalu aku dilahirkan. Yang teristimewa, aku lahir bukan di tanah kelahiran kedua orang tuaku, Jawa. Aku dilahirkan di tanah sabrang nun jauh di sana, Pulau Kalimantan, di pintu gerbang perbatasan Indonesia-Malaysia.




Tarakan, atau tercatat di akta kelahiranku, Kabupaten Bulungan, menjadi tempat kelahiranku. Aku lahir di sebuah rumah berpapan triplek (kayu) dan beratap seng di sebuah perkampungan yang tak pernah kuketahui namanya. Di rumah yang sempit itu, aku kemudian tinggal bersama kedua orang tuaku, para perantau dari Jawa yang mencari peruntungan di ujung negeri utara kepulauan Indonesia.

Meski hidup dalam kondisi yang jauh dari kesejahteraan, aku masih mengingat betul saat-saat indah semasa kecilku. Aku mempunyai teman bermain bernama Becek (sekarang aku tak tahu ia di mana) yang sangat senang menggendongku dan mengajaku bermain ke mana-mana. Semasa kecil, aku juga diasuh oleh Mbah Mbok, seorang perantau asal Malang yang sangat menggagumi Bung Karno.



Di Tarakan, aku tinggal di perkampungan yang multikultural. Menurut cerita ibuku, kampung yang kami tempati dihuni oleh sebagian besar para perantau dari luar Kalimantan. Ada orang Bugis, ada orang Solo, dan ada pula orang Madura. Selama tinggal di sana kami hidup membaur dan saling memahami satu sama lain. Tak pernah terjadi satu kali pun konflik seperti pengusiran para perantau oleh penduduk asli seperti akhir tahun 1990-an yang mengerikan itu. Keluargaku bahkan sangat dekat dengan orang-orang Bugis.

Hidup di tanah perantauan memang membuka mata kita mengenai ke-Indonesiaan. Ibuku selalu bercerita seperti itu terhadapku. Beliau bertutur, bahwa hidup di Tarakan menjadikan beliau mengenal orang-orang Indonesia yang berbeda-beda etnis dan kepercayaan. Dari situ sesama bangsa Indonesia bisa belajar banyak hal. Di samping itu, hidup di perantauan pula telah membukakan mata kita mengenai ironi wilayah perbatasan. Ya, di Tarakan kami hidup dengan menggantungkan diri kepada Malaysia, dan bukanya pemerintah Indonesia. Hampir semua kebutuhan pokok berupa makanan yang kita makan sehari-hari adalah suplai dari pasar Malaysia.

Malaysia, sejak dulu menjadi tumpuan ekonomi masyarakat Indonesia di perbatasan. Kalo aku tidak salah ingat, hampir semua produk makanan berasal dari negeri jiran itu. Penduduk di perbatasan biasa menukarkan barang-barang yang mereka punya dengan kebutuhan pokok yang di pasok dari Malaysia.

Begitulah aku memahami diriku sendiri setiap kali mengingat bulan Juni. Masa kecilku yang jauh di sana, memberikan banyak sekali pelajaran ketika aku melihat diriku di sini yang hidup penuh dengan kemudahan (meskipun kemudahan yang dimaksud adalah relatif). Paling tidak, masa-masa kecilku telah mengajarkan tentang makna ke-Indonesiaan. Ke-Indonesiaaan yang tidak saja diwarnai dengan realitas "keberagaman" yang indah, tetapi juga lengkap dengan ironi-ironinya. Suatu saat ingin sekali menjelajah Indonesia sampai sejauh itu.

Selasa, 11 Juni 2013

Di mana-mana Macet!!

Banyangkan 80 tahun yang lalu, duduk sendirian di depan Tugu Jogja yang ikonik itu. Apa yang akan terlihat? Aha, apalagi kalo bukan jalanan halus yang relatif lenggang. Tanpa suara bising dan polusi udara, dan hanya sesekali jalanan dilalui mobil, sepeda ontel, dan becak. Ya, itulah kira-kira Kota Jogja 80 tahun lalu. Kota Jogja saat itu, yang terekam dalam foto-foto jadul, terlihat sepi dan tenang. Jauh sekali dengan sekarang yang bising dan tak keruan.

Empat tahun yang lalu, saat aku memutuskan kuliah di UGM, aku masih percaya bahwa kota ini masih cukup aman bagi para pengendara sepeda ontel. Kepercayaanku itu bukan tanpa alasan. Orang-orang selalu menjuluki Jogjakarta dengan sebutan Kota Sepeda.

Kira-kira hanya dua minggu saja aku tahan berkendara dengan sepeda ontel di kota ini. Aku baru sadar, pengendara sepeda motor dan mobil jauh melebihi pengendara sepeda ontel. Kota ini ternyata tak cukup nyaman bagi pengendara sepeda genjot.

Bagaimana kondisi jalanan Kota Jogja sekarang? Ya, inilah yang menyedihkan. Di Jakarta atau di Bandung, setiap hari orang hidup dengan kemacetan. Nah, di Jogjakarta, kondisinya hampir bisa dikatakan sama. Kondisi jalanan di Jogjakarta tak lebih baik daripada kedua kota yang super macet se-Indonesia itu. Di Jogjakarta, setiap hari, terutama di siang hari hingga sore (saat jam pulang kantor), jalanan selalu penuh sesak.

Sejumlah tempat yang menjadi titik kemacetan diantaranya; Jalan Kaliurang, Jalan Gejayan, Jalan C. Simanjuntak, Jalan Monjali, Ring Road Utara, dan masih banyak lagi titik lainya. Di mana-mana di Jogja, jalanan selalu macet!!

Senin, 10 Juni 2013

Kabar Jogja dari Tempat Bernama Angkringan

Apa kabar Jogja hari ini? Pertanyaan itu yang mengawali hariku setiap pagi saat aku kembali membuka mata. Dan ketika aku melongok keluar jendela, aku selalu mengharapkan ada suguhan cerita baru di hari ini.

Aku tak pernah menganggap hari-hariku sebagai rutinitas yang membosankan. Buatku, semuanya berjalan mengalir, dan aku tahu apa yang harus ku lakukan setiap pagi. Mengeluhkan nasib karena melewati pagi yang biasa, menurutku hanya terjadi pada orang-orang yang tak pernah menghargai hidup. Aku bukan tipe orang yang pesimistik memandangi hidupku sekarang.

Aku bangun pagi. Mencuci muka. Lalu men-"starter" motor buntutku. Ritual wajib penyambutan pagi biasa ku lakukan di angkringan sekip peruhaman dosen UGM- di dekat Fakultas Teknik. Ya, hampir tiap pagi aku memesan secangkir teh hangat, sebungkus nasi sambal, dan dua gorengan, di angkringan itu. Bersama tukang becak, aku biasa bercakap saling bertukar pengalaman.

 
Di angkringan nan sederhana yang buka tiap hari Senin sampai Sabtu itu, aku mendapatkan informasi seputar Jogja setiap harinya. Bukan dari berita koran atau televisi yang selalu menyajikan berita yang sama. Cerita dari para tukang becak, buruh, mahasiswa teknik, dan penjual angkringan, adalah kabar Kota Gudeg hari ini. Dari ragam dan warna cerita itu, aku menemukan keseharian Jogja yang tak biasa. Keseharian yang jujur apa adanya. Dan bukannya keseharian di surat-surat kabar yang tak pernah aku mengerti.



Angkringan itu ibarat "Lapo" bagi orang Jogja. Kalo Lapo adalah kedainya orang Batak, tapi kalau angkringan milik orang Jogja. Angkringan adalah tempat dimana orang-orang bisa berkumpul, tidak hanya untuk makan dan memesan secangkir kopi atau teh, tapi juga saling bertukar pengalaman. Di angkringan, orang tak sungkan berbagi cerita. Tak pandang apakah mereka pernah bertemu sebelumnya atau tidak, angkringan tak punyai sekat yang menjauhkan jarak para pengunjungnya. Angkringan juga menjadi pusat informasi.

Kebiasaanku memesan teh di angkringan menjadi bekal mengarungi hariku setiap pagi. Dan, kebiasaan saling bertukar pengalaman itu pulalah yang menular pada diriku. Tak pandang tukang becak atau buruh biasa, mereka punya cerita masing-masing. Apa kabar Jogja hari ini, hanya mereka yang bisa menceritakanya di tempat yang sama bernama; angkringan.

Sabtu, 08 Juni 2013

Mengagumi Alam dan Belajar Sejarah di Kuningan

Kuningan selalu memikat. Kabupaten yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat ini menjadi pintu gerbang bagi bumi Parahyangan. Di tempat inilah budaya Sunda menampakan diri yang sebenarnya. Bahasa Sunda, logat bicara bernada halus rendah, dan tingkah laku yang mengedepankan asas kesopanan khas Sunda, menjadi warna keseharian masyarakat Kuningan.

Bulan Mei yang lalu aku sempat menyinggahi Kuningan untuk beberapa saat. Patung Kuda yang terdapat di taman kota menjadi tempat pertama yang aku kunjungi. Kesan yang muncul adalah bersih, sejuk, dan Indah. Ya, taman kota Kuningan yang dibangun sederhana dan minimalis itu jauh sekali dari kesan kumuh. Tak seperti pusat keramaian di kota-kota lain di Indonesia yang terkenal kesemrawutanya, pusat kota Kuningan dengan ikon Kuda-nya menjadi tempat yang cukup nyaman bagi siapapun yang ingin menghabiskan waktunya bersama orang-orang terdekat di tempat ini.

Tak jauh dari taman kota, Kuningan menawarkan obyek wisata yang tak kalah menariknya. Obyek wisata Sangkanhurip, demikian ia dikenal, menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi oleh para pejalan dari luar daerah. Tanpa menunggu waktu lama, aku pun memutuskan untuk menyambangi tempat ini. Selain bisa merasakan sensasi pemandian air panas, aku juga dapat mencari penginapan yang relatif murah.

Jalan-jalan menyusuri tempat-tempat wisata di Kuningan menjadi pengalaman pertamaku yang sangat berkesan. Aku menemukan sebuah kabupaten yang tidak saja unik, tetapi juga sangat menawan. Berada di dataran tinggi, pemandangan pegunungan yang menghiasi lanskap kabupaten ini sepertinya telah memanjakan mataku. Semuanya hanya bukit-bukit dan tanaman padi yang menghijau. Dari tempat yang tidak begitu jauh, aku bisa mengamati dengan jelas puncak Gunung Ceremai, gunung tertinggi di Jawa Barat.

 
Mengagumi Alam Sambil Belajar Sejarah

Mungkin karena kebiasaan, kemana pun aku berpergian, aku selalu menanyakan tempat-tempat mana saja yang bersejarah. Aku percaya bahwa di hampir semua tempat di dunia ini pasti meninggalkan jejak-jejak masa lalu yang terus dikenang masyarakat. Begitu pula saat aku berada di Kuningan. Kepercayaan itu sama sekali tak pernah lepas dari pikiranku.

Mengingat-ingat peristiwa bersejarah di Kuningan, pikiranku terbesit pada sebuah peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia. Di buku-buku sejarah selalu tercatat mengenai perundingan yang dikenal dengan sebutan Perundingan Linggarjati. Menurut buku sejarah, perundingan itu diselenggarakan di Linggarjati, sebuah tempat yang terletak persis di kaki Gunung Ceremai. Ini berarti, tempat perundingan Linggarjati itu tidak jauh dari tempatku berada sekarang.

Poster yang mempropagandakan dukungan perundingan Indonesia-Belanda

Seperti tercatat dalam nukilan sejarah Indonesia, pada bulan-bulan akhir tahun 1946, pemerintah Republik Indonesia menggelar perundingan pengakuan kedaulatan dengan pemerintah Belanda. Saat itu, pemerintah Indonesia sedang berjuang mendapatkan pengakuan kedaulatan dari pihak Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Sebagai usaha pertamanya, pemerintah Indonesia mengajak para pejabat Belanda untuk duduk dalam satu meja dan membicarakan status kedaulatan Indonesia. Bulan November 1946, perundingan Indonesia-Belanda digelar untuk kali pertama. Perundingan yang akhirnya menghasilkan pengakuan status Indonesia atas Sumatera, Jawa, dan Madura itu, kemudian dikenal dengan nama Perundingan Linggarjati.
Meja saling berhadapan antara delegasi Indonesia dan delegasi Belanda

Gedung Perundingan Linggarjati nampak dari samping.
Hanya dibutuhkan waktu 15 menit dari Sangkanhurip untuk menuju Geduang Perundingan Linggarjati. Perjalanan menuju gedung perundingan ini diwarnai dengan pemandangan alam Gunung Ceremai yang angkuh menjulang tinggi. Sambil mengagumi keindahan alam bumi Parahyangan, aku pun mulai bertanya-tanya, mengapa Perundingan Linggarjati diselenggarakan di tempat sejauh ini? Mengapa perundingan tidak diadakan saja di tempat yang dekat dengan pelabuhan, misalnya di Jakarta?
Tampak pemandangan puncak Gunung Ceremai




Kamis, 06 Juni 2013

Soto Pojok Muntilan

Dinginya udara pagi mengiringi perjalananku menuju Kota Magelang. Ini mengingatkanku pada suasana pagi ketika aku menginjakan kaki di Pasteur, Bandung, beberapa waktu yang lalu. Hawa dingin khas pegunungan dan warna langit yang mendung kehitaman menarik ingatanku pada sebuah pagi yang sama. Meski Magelang bukanlah Bandung di hari-hari biasa (karena panasnya), tapi entah mengapa aku merasakan kesamaan keduanya di pagi ini.

Ketika sepeda motorku melaju di Jalan Raya Pemuda, Muntilan, pertokoan milik orang-orang Cina yang berderet di pinggir jalan itu seolah menggerakan kakiku ke masa lalu. Memoriku terbuka kembali pada suatu pusaran waktu saat aku masih kanak-kanak di mana aku sering diajak berjalan kaki di depan pertokoan yang sampai sekarang tak banyak berubah itu. Toko kain, toko kelontong, apotik, toko sepatu Bata, dan toko-toko lainya masih berada di tempatnya masing-masing. Aku juga masih melihat ibu-ibu penjual buah-buahan yang selalu menggelar lapaknya di trotoar.

Tempat lain yang terlihat tak banyak berubah tentu saja adalah Pasar Muntilan. Pasar Muntilan yang sudah melekat sebagai pusat perputaran uang masyarakat Muntilan dan sekitarnya ini, tetap saja ramai dikunjungi para pembeli. Aku pun kagum. Di tengah-tengah pergesaran masyarakat kita yang mulai menyukai pasar modern (swalayan-mall), pasar tradisional Muntilan tetap menjadi pilihan bagi warga sekitar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Kesempatan bernostalgia ini tentu saja tak akan aku lewatkan dengan mengamat-amati saja. Aku pun kemudian turun dari sepeda motor dan memutuskan untuk mencari warung soto yang sudah sangat legendaris di Pasar Muntilan. Mencari warung itu tak sulit. Hanya melangkah dua ratus meter dari parkir sepeda motor, warung soto yang dikenal dengan sebutan warung Soto Pojok itu, akhirnya bisa ku temui.

Seingatku, warung Soto Pojok ini dari dulu selalu ramai di kunjungi pelanggangnya. Ayahku sering mengajaku ke warung ini. Dan, aku masih ingat betapa ramainya warung ini. Menariknya, bentuk warung ini tak berubah. Mungkin berubahan hanya terjadi pada cat dindingnya saja (aku tak ingat warna catnya saat aku pertama kali ke warung ini sekitar sepuluh tahun yang lalu).

Entah apa yang menyebabkan warung ini ramai. Rasa sotonya sebenarnya biasa saja. Malah, Soto Pojok bukan terkesan sebagai hidangan yang mewah. Soto Pojok disajikan di atas piring beling berwarna putih berisi bihun, toge, irisan wortel dan kol, suwiran ayam, dan taburan bawang goreng. Kuahnya yang bening menunjukan bahwa soto ini sangat berbeda dengan soto-soto lainya.

Aku lalu memesan seporsi soto ayam dan teh anget manis. Sepotong tahu bacem dan bergedel menambah sedap hidangan soto itu. Harga semuanya tidak mahal. Aku hanya harus membayar Rp. 9000, - saja untuk semua pesanku itu. Ya, sambil bernostalgia aku juga menikmati sarapan pagi di warung Soto Pojok, yang sudah sangat legendaris di Muntilan.


Selasa, 04 Juni 2013

Emong: Potret Ironi di Sangkanhurip

"Emong", begitu pria itu memperkenalkan namanya. Badanya tegap dan tingginya melebihiku. Sekilas ia tampak seperti aktor kenamaan Tio Pakusadewo. Sambil menyengir, dia mengulurkan tanganya dan mengajaku berbincang hangat seperti seorang kawan lama yang sepuluh tahun tak pernah bertemu.

Malam itu saya tersasar di kawasan obyek wisata Sangkanhurip, Kuningan. Jam masih menunjukan pukul 22.00 malam, tapi Kota Kuningan yang sunyi itu sepertinya telah lebih dulu tertidur. Saya yang baru saja tiba dari perjalanan jauh dari Yogyakarta memutuskan untuk sejenak beristirahat mencari penginapan di Sangkanhurip.

Sangkanhurip, kawasan wisata yang jadi andalan Kabupaten Kuningan, sekilas memiliki kesamaan dengan Kaliurang di Yogyakarta. Tempatnya di dataran tinggi dan hawanya yang dingin mengingatkanku pada tempat yang dipenuhi oleh villa-villa bergaya Eropa di Yogyakarta itu. Sangkanhurip pun demikian. Saat saya melintas memasuki kawasanya, saya melihat bangunan penginapan berjejer mengajak para pengunjung bermalam di situ.

Dari dalam mobil, rumah-rumah penginapan itu sepi tanpa penhuni. Saya tak tahu persis, apakah ada orang yang menempatinya atau tidak. Di salah satu sudut jalan, dimana sebuah warung kopi tampak menebarkan cahanya, saya memberhentikan diri.

Ya, di warung kopi itulah saya dipertemukan dengan Emong. Namanya yang tentu saja lucu. Dengan logat khas Sunda, Emong menawarkan jasa akan mengantarkanku mencari penginapa yang murah untuk merebahkan diri semalam.

Sementara mencari penginapan perkenalanku dengan Emong pun berlanjut. Awalnya, Emong yang saya tahu hanyalah seorang pengangguran yang mencari peruntungan dengan mengantar para wisatawan mencari penginapan, ternyata bukan seorang "juru kunci" Sangkanhurip semata. Di sela-sela pembicaraan denganku, dia membuatku terkejut saat menawarkanku "layanan plus-plus". Aha, Emong, tanpa ku duga-duga adalah pejaja wanita.

Di Sangkanhurip, gadis-gadis di tawarkan secara diam-diam oleh para lelaki macam Emong. Umumnya mereka berusia muda belia. Bahkan di antara dari mereka masih bersekolah. Saya membuka salah satu lama berita online lokal dan menemukan fakta bahwa terdapat gadis-gadis yang di tawarkan di Sangkanhurip adalah masih bersekolah setingkat SMA. Bukan mainya saat aku mengerti mengenai hal ini. Perkenalanku dengan Sangkanhurip telah mempertemukan aku dengan seorang bernama Emong. Orang yang juga membuka mataku tentang irono kawasan wisata ini.

Kebahagian Malam

Aku harusnya bahagia. Aku harusnya bisa tersenyum. Bukankah aku masih diberi kesempatan memandangi langit yang hitam seperti biasanya. Dan aku pun masih bisa menghirup udara segar seperti hari-hari lalu. Lalu, apa pula yang kurang dalam hidup ini? Apakah anugerah dan kebahagiaan itu kurang?

Terkadang aku malu pada diriku sendiri. Aku bertanya-tanya, siapa diriku. Bagaimana aku bisa berdiri memijak bumi seperti sekarang. Bukankah aku dulu hanya sesosok anak ingusan tanpa punyai apa-apa. Bukankah aku terlahir lalu besar tanpa membawa apa-apa. Hanya bisa beranjak dewasa saja harusnya aku bisa bersyukur. Lalu, kenapa aku harus merasai terus ada yang kurang dalam hidup ini. Mengapa harus ada, seolah-olah beban berat menumpuk di dada dan kepala ini? Mengapa?

Apa sebenarnya takaran orang bahagia? Apakah orang-orang yang kaya? Orang-orang yang punya segudang uang dan bisa melakukan apa pun seenak perut mereka? Apakah orang bahagia itu orang yang bisa membeli orang lain? Orang yang bahagia itu orang yang puas bisa mengalahkan orang lain? Bisa membeli diri orang lain seenaknya. Apakah demikian itu?

Saat aku mengetik huruf per huruf kata-kata ini, aku sedang berada di pojokan sebuah kamar yang sempit. Sebuah kamar bercat putih yang panas dan pengap. Sebuah kamar yang tidak memberikan kebebasan padaku untuk menghirup udara sebebas-bebasnya. Sebuah kamar yang mirip penjara berukuran 3x3 dengan alas tidur tipis di atas lantai yang dingin. Dan sebuah kamar yang telah menyadarkanku bahwa hidup adalah ketika aku menuliskan huruf per huruf sambil menghirup perlahan udara yang pengap itu. Lalu, kenapa aku harus membayangkan tentang hidup yang berat padahal masih ada banyak kisah pilu yang beratnya melebihi dari pengalamanku di kamar malam ini?

Dan aku mengingat kata-kataku sendiri saat aku duduk sendiri merenungi hidup ini di salah satu sudut jalan Malioboro. Aku mengingat ketika di sekitarku orang-orang paruh baya yang semuanya berkumis itu, masih mengumbar tawa tanpa beban di atas kendaraan dan rumah tinggal sementara mereka bernama; becak. Ya, para tukang becak. Orang-orang yang tidak punyai derajat dan pengalaman terdidik sepertiku, ternyata lebih mulia memandangi hidup. Mereka masih bisa tersenyum, setidaknya untuk menghibur diri mereka agar selalu mengingat bahwa hidup ini tidak seperti banyak orang bilang. Hidup ini sederhana. Karena hidup adalah kayuhan becak dan laju gerak kendaraan roda tiga itu. Hidup itu tak perlu pikirkan soal malu melakukan apa yang bisa kita lakukan.

Tukang becak yang menyapaku dengan senyum mereka yang ramah mengingatkanku bahwa hidup untuk terus menganyuh dan tetap tersenyum. Kemana tujuan kita memang terkadang berbeda, tapi kini kita semua sedang berjuang mencapai tujuan yang kita cita-citakan. Kita sedang menuju impian yang kita ingin-inginkan. Tak pandang tukang becak, penjual rokok asongan, atau siapa pun itu, harusnya tetap melihat hidup sebagai sesuatu yang sangat sederhana. Apa yang kita lakukan sekarang adalah nafas kita di masa mendatang! Kebahagiaan adalah ketika kita ikhlas memandangi hidup kita sekarang. Kebahagiaan adalah ketika aku tersenyum sambil menuliskan kata-kataku ini. Kebahagiaanku, dan para tukang becak itu, adalah ketika aku bisa memandangi kebahagiaan orang-orang lain di malam ini.

 

Senin, 03 Juni 2013

Celoteh

Saya lek muchlis. "Lek" dalam bahasa Jawa berarti Pak Lek alias pak cilik. Bahasa Indonesianya sama dengan paman atau om. Kenapa saya dipanggil Lek, sebenernya bermula dari temen saya. Saat saya bingung karena nggak ada nama yang cocok untuk akun twitter saya, seorang temen mengusulkan supaya menambah kata lek di depan nama saya. Jadilah akun twitter yang sudah berbulan-bulan tetapi followernya nggak nambah-nambah; lekmuchlis.

Pada dasarnya saya menyukai pekerjaan menulis. Menulis sms, menulis status fb, tapi tidak untuk menulis skripsi. Saya sekarang ini lagi selesai saja menyerahkan naskah skripsi ke dosen pembimbing saya. Setelah tiga bulan lebih berkutat pada penderitaan hidup dan tekanan batin, akhirnya skripsi saya kelar juga. Menurut saya, pekerjaan menulis skripsi adalah cobaan paling berat selama saya beranjak menjadi dewasa.

Selama mengerjakan skripsi, saya mengamati beberapa perubahan yang terjadi pada mahasiswa-mahasiswa angkatan tua yang sedang mengerjakan skripsi. Saya menyimpulkan bahwa terdapat perubahan signifikan yang terjadi pada golongan mahasiswa ini. Perubahan-perubahan itu bisa dilihat dari polah tingkah dan kata-katanya.

1) Biasanya mahasiwa yang sedang mengerjakan skripsi selalu males pergi ke kampus. Kemalasan ini dipicu oleh stigma yang diterima mereka sebagai mahasiswa angkatan tua.

2) Pekerjaan sehari-hari dihabiskan di dalam kamar kos. Mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi biasa keluar kos hanya untuk mencari makan dua kali dalam sehari; siang dan malam. Di luar itu, mereka paling-paling pergi ke kosan temen (sesama jenis) untuk mengkopi film dengan alasan sebagai hiburan. Berpuluh film berhasil di kopi dan biasanya jadi lupa ngerjain skripsi.

3) Mahasiswa yang sedang skripsi umumnya juga dilanda perasaan galau tak menentu. Dua masalah yang sering terpikir di otak mereka adalah; pasangan hidup dan masa depan. Masalah pasangan hidup. Mahasiswa tua yang lagi ngerjain skripsi (berstatus jomblo) akan sangat sering membicarakan soal cinta. Tiba-tiba menjadi bijak dan memberikan nasihat-nasihat kepada orang lain layaknya seorang dokter cinta (padahal dia belum punya pengalaman). Selain itu, mereka akan melakukan curhat colongan kepada teman-teman terdekatnya (sesama jenis) tentang cara-cara mendekati cewek (tapi siapa ceweknya belum pernah jelas).

4) Semakin Religus. Sudah menjadi kebiasaan umum di Indonesia. Korelasi antara religiusitas dan waktu saat-saat menjelang akhir seorang menyelesaikan studi ibarat dua rel kereta api yang berjalan berjejer.

Meskipun saya tergolong mahasiswa yang baru saja menyelesaikan skripsi, saya selalu kritis terhadap perkembangan fase kedewasaan ganjil yang saya sebutkan di atas. Saya hanya pengamat, dan tetap menjadi pengamat sejauh ini.