Panas dan ruwet, itu
kesan pertamaku saat memasuki kota yang hanya berjarak dua atau tiga kilometer
dari bibir laut itu. Pemandangan seperti ini mengingatkanku pada kota pelabuhan
lainnya di Jawa. Jakarta, Surabaya, Semarang, tiga kota pelabuhan yang
berstatus internasional, adalah prototipe kota pelabuhan Jawa. Minim perhatian
terhadap urusan penataan kota dan ketidaklayakan infrastruktur menjadi
pemandangan khas anomali yang selalu menonjol di kota-kota pelabuhan tersebut.
Kalau aku tak salah mengingat, sejarawan kenamaan Prancis, Dennys Lombard, memasukan kota Cirebon ke dalam kategori kota pelabuhan kuno. Ciri yang menonjol pada jenis kota ini adalah penataan ruang yang kurang teratur. Dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2, diperlihatkan Dennys Lombard betapa Kota Cirebon sangat jauh dari penataan yang terstruktur rapi. Kenyataan inilah yang membedakan kota Cirebon dengan kota pedalaman Jawa seperti Yogyakarta atau Solo. Dibandingkan Cirebon, kedua kota belakangan ini membangun peradabannya dengan berpedoman pada konsep yang dikenal dengan istilah konsep “kosmologi”.
Tapi, benarkah kota
Cirebon memang tak berkonsep seperti dikatakan Dennys Lombard? Jika dilihat dari
kecenderungan kota-kota kuno yang menganut ideologi arsitektural kosmologis
Hindu, Cirebon memang tidak sesuai dengan konsep tersebut. Malah, terkesan
kosmologis Hindu sama sekali tidak nampak dalam kota ini. Penataan Kraton
Kasepuhan, yang dalam pandangan umum kraton Jawa diidentikan sebagai pusat
kosmos, tidak dibarengi dengan penataan ruang di luar dinding keraton.
Pertumbuhan pemukiman padat yang tidak terkontrol di luar dinding krraton
menjadi penyebab utama kesemrawutan kota ini.
Terlepas dari itu
semua, Cirebon tetap memberi kesan pada kunjungan pertamaku ke kota ini. Kota
ini adalah kota tua yang telah hidup sejak abad awal pengislaman. Kota ini
meninggalkan jejak-jejak sejarah jika kita mau melihatnya secara lebih dekat.
Peninggalan sejarah bisa kita temukan di tiap-tiap sudut kota dari mulai ceceran
bangunan tua, folklore yang
diceritakan dari mulut ke mulut, hingga penganan tradisional yang banyak
dijajakan di emperan jalan. Semuanya mewarisi jejak masa lalu kota pelabuhan
bernama asal Caruban yang berarti
Udang itu.
Salah satu tempat
paling suci yang aku kunjungi selama berada di kota ini adalah Makam Sunan
Gunung Jati. Makam inilah yang dikunjungi para peziarah dari berbagai pelosok
negeri. Tak hanya datang dari Jawa, para peziarah tak jarang berasal dari luar
Jawa seperti Sumatera dan Kalimantan. Ratusan orang datang berombongan setiap
harinya untuk memanjatkan doa di makam orang suci ini. Sejak dahulu kala, Sunan
Gunung Jati dihormati dan dimasukan ke dalam jajaran ulama penyebar agama Islam
di Pulau Jawa.
Saat aku memasuki area makam, gema suara doa-doa mengalun khusuk mengisyaratkan hati ini agar merendahkan diri. Aku pun tak sembarangan saat memasuki makam ini. Begitu dihormatinya sang ulama, sampai-sampai tak putus-putusnya orang berdatangan demi melihat makam Sunan Gunung Jati.
Berjalan-jalan
mengamati makam, aku menemukan sisi keunikan bangunan makam. Dinding-dinding
makam sebagian berhiaskan keramik-keramik yang berasal dari Cina. Sebuah
pemandangan yang bagi orang awam sepertiku tampak aneh. Mengapa makam orang
suci ini berhiaskan keramik-keramik dari Cina?
Menurut penuturan warga
setempat, sejak zaman dulu Sunan Gunung Jati dikenal sebagai ulama yang
memiliki hubungan dekat dengan orang-orang Cina. Bahkan, salah satu isteri
sunan diyakini adalah seorang putri Cina. Bukti dari cerita ini bisa ditemukan
di kompleks makam isteri Sunan Gunung Jati. Terletak persis bersebelahan dengan
makam sunan, makam isteri Sunan Gunung Jati diwarnai dengan benda-benda yang
biasanya hanya terdapat di klenteng Cina. Selain dinding komplek makam yang
bercat merah dan dipenuhi pernak-pernik keramik dari Cina, di depan makan putri
Cina tersebut terdapat tempat peletakan dupa yang identik sekali dengan tempat
ibadah agama Konghuchu.
Keberadaan Sunan Gunung
Jati dan akulturasi yang terjalin antara budaya Islam dan Cina, menguatkan
posisi kota Cirebon sebagai kota pelabuhan yang selalu “terbuka”. Cirebon tidak
hanya mampu mempertahankan perbaduan kebudayaan Jawa-Sunda yang telah melekat
lama pada masyarakatnya, tetapi juga memberi kesempatan bagi masuknya
unsur-unsur budaya lain. Barangkali tak salah, kalau Cirebon disebut sebagai
pintu gerbang sekaligus tempat persilangan budaya yang beragam. Budaya
Jawa-Sunda, budaya Islam, dan budaya Cina, berpadu menjadi orkestra yang indah.
Begitulah yang terpikir
di benakku saat aku mengagumi kota ini di balik panas dan kesemrawutanya.
Nilai-nilai historis ibarat panggung keseharian tempat di mana maysrakat Cirebon memainkan peranannya. Cirebon, si Roma dari Timur itu, tetap menarik bagi diriku.