Kamis, 13 Juni 2013

Tanah Kelahiran di Tapal Batas Indonesia-Malaysia

Bulan Juni adalah bulan bersejarah. Bulan Juni identik dengan bulan Bung Karno. Di bulan Juni, Bung Karno, sang putra fajar itu lahir. Di bulan Juni pula Bung Karno mencetuskan gagasan Pancasilanya. Tak heran kalo bulan ini diperingati setiap tahun oleh sluruh rakyat Indonesia.

Bila bangsa ini punya kesan mendalam pada bulan berangka 6, maka aku pun tak mau kentinggalan. Entah kebetulan atau tidak, aku juga dilahirkan di bulan ini. Tepat pada tanggal 13 Juni, 24 tahun yang lalu aku dilahirkan. Yang teristimewa, aku lahir bukan di tanah kelahiran kedua orang tuaku, Jawa. Aku dilahirkan di tanah sabrang nun jauh di sana, Pulau Kalimantan, di pintu gerbang perbatasan Indonesia-Malaysia.




Tarakan, atau tercatat di akta kelahiranku, Kabupaten Bulungan, menjadi tempat kelahiranku. Aku lahir di sebuah rumah berpapan triplek (kayu) dan beratap seng di sebuah perkampungan yang tak pernah kuketahui namanya. Di rumah yang sempit itu, aku kemudian tinggal bersama kedua orang tuaku, para perantau dari Jawa yang mencari peruntungan di ujung negeri utara kepulauan Indonesia.

Meski hidup dalam kondisi yang jauh dari kesejahteraan, aku masih mengingat betul saat-saat indah semasa kecilku. Aku mempunyai teman bermain bernama Becek (sekarang aku tak tahu ia di mana) yang sangat senang menggendongku dan mengajaku bermain ke mana-mana. Semasa kecil, aku juga diasuh oleh Mbah Mbok, seorang perantau asal Malang yang sangat menggagumi Bung Karno.



Di Tarakan, aku tinggal di perkampungan yang multikultural. Menurut cerita ibuku, kampung yang kami tempati dihuni oleh sebagian besar para perantau dari luar Kalimantan. Ada orang Bugis, ada orang Solo, dan ada pula orang Madura. Selama tinggal di sana kami hidup membaur dan saling memahami satu sama lain. Tak pernah terjadi satu kali pun konflik seperti pengusiran para perantau oleh penduduk asli seperti akhir tahun 1990-an yang mengerikan itu. Keluargaku bahkan sangat dekat dengan orang-orang Bugis.

Hidup di tanah perantauan memang membuka mata kita mengenai ke-Indonesiaan. Ibuku selalu bercerita seperti itu terhadapku. Beliau bertutur, bahwa hidup di Tarakan menjadikan beliau mengenal orang-orang Indonesia yang berbeda-beda etnis dan kepercayaan. Dari situ sesama bangsa Indonesia bisa belajar banyak hal. Di samping itu, hidup di perantauan pula telah membukakan mata kita mengenai ironi wilayah perbatasan. Ya, di Tarakan kami hidup dengan menggantungkan diri kepada Malaysia, dan bukanya pemerintah Indonesia. Hampir semua kebutuhan pokok berupa makanan yang kita makan sehari-hari adalah suplai dari pasar Malaysia.

Malaysia, sejak dulu menjadi tumpuan ekonomi masyarakat Indonesia di perbatasan. Kalo aku tidak salah ingat, hampir semua produk makanan berasal dari negeri jiran itu. Penduduk di perbatasan biasa menukarkan barang-barang yang mereka punya dengan kebutuhan pokok yang di pasok dari Malaysia.

Begitulah aku memahami diriku sendiri setiap kali mengingat bulan Juni. Masa kecilku yang jauh di sana, memberikan banyak sekali pelajaran ketika aku melihat diriku di sini yang hidup penuh dengan kemudahan (meskipun kemudahan yang dimaksud adalah relatif). Paling tidak, masa-masa kecilku telah mengajarkan tentang makna ke-Indonesiaan. Ke-Indonesiaaan yang tidak saja diwarnai dengan realitas "keberagaman" yang indah, tetapi juga lengkap dengan ironi-ironinya. Suatu saat ingin sekali menjelajah Indonesia sampai sejauh itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar