Rabu, 07 Mei 2014

Jogja-Solo Pagi Itu..

Bunyi sirine kereta api pagi itu menyambut kedatanganku. Memasuki pintu menuju peron, pandanganku tercuri oleh sebuah benda besi bernama rel yang panjanngnya berkilo-kilo meter tak berujung. Aku menarik rangselku sambil memeganginya kuat-kuat. Ketika memastikan ranselku telah aman tergendong, di balik punggung yang ditutupi ransel, ku lihat puluhan orang mengantre berebut pintu menuju peron. Ini adalah kisah perjalananku menuju sebuah kota yang jaraknya kurang dari 2 jam tetapi telah merubah hidupku sekarang.

Perjalananku sesungguhnya serba sederhana. Aku bahkan menyamakannya dengan pengalaman perjalananku seperti biasa. Bahkan, sama sekali tak ada yang istimewa. Jika aku harus mempersiapkan segala macam hal yang mungkin aku butuhkan untuk perjalanan jauh ke Jakarta atau Bandung, maka kali ini aku tak harus serba sibuk mempersiapkannya.

Di peron aku menunggu kedatangan kereta api dari arah timur. Kereta api yang selama ini rutin mengangkut para komuterian Jogja-Solo setiap hari, dari pagi hingga malam. Sesuai jadwal, aku menanti kedatangan kereta api Sriwedari yang akan berangkat dari stasiun Lempuyangan pukul 08.10.

Perjalanan ke Kota Solo adalah perjalanan yang kesekian kali tak terhirtung. Aku hampir melakukannya tiap satu bulan, untuk sekedar jalan atau bertemu dengan seorang kawan di sana. Disamping itu, entah kenapa ada perasaan kerinduan yang selalu muncul terhadap kota menawan yang satu ini.

Sekitar lima belas menit menunggu, kereta akhirnya datang juga. Kereta hinggap di jalur dua mempersiapkan mesin untuk melajut di atas rel kereta api menuju Solo. Aku berlari kecil mencari posisi di depan salah satu pintu gerbong yang disediakan untuk penumpang umum. Saat kereta lambat laun berhenti, kakiku melompat kecil sambil melangkah mencari tempat duduk yang masih kosong.

Pagi itu ratusan penumpang sepakat dengan satu tujuan yang sama: solo. Aku bersama mereka akan merasakan satu jam lebih perjalanan, mendengarkan derap gesekan roda kereta dan rel, serta memandangi lautan hijau sawah yang membentang sepajang rel kereta api Jogja-Solo.

Bagi ku, perjalanan ini senantiasa menimbulkan satu perenungan. Aku tak memikirkan akan apa yang aku dapat selama nanti di kota Solo. Yang lebih menarik adalah, aku bisa duduk bersandingan dengan sesama penumpang, saling bertegur sapa, saling mengamati, dan bertukar pengalaman seputar perjalanan.

......


Rabu, 16 April 2014

Jogja Berhenti Nyaman

Tiba-tiba terbesit tentang arti kata nyaman yang sering melabeli Yogyakarta.  Seperti tiap hari saya melihat, dan saya rasa banyak juga orang Jogja mengimini demikian, poster tertulis slogan "jogja berhati nyaman" yang sudah melekat di alam pikiran warga Jogja sesekali terpasang di pinggir-pinggir jalan. Poster itu merepesentasikan DI Yogyakarta sekligus sebagai pemantik dari sebuah pertanyaan reflektif: Apakah (iya) Jogja berhati nyaman.

Dalam beberapa kesempatan berbicang dengan bnyak orang, kebanyakan memiliki pendapat yang sama. Mereka menyepakati bahwa kehidupan di Jogja lebih nyaman daripada di Jakarta atau kota-kota lainnya. Sebagai salah satu kota besar, Jogja relatif disenangi dan diminati untuk tempat tinggal. Tak heran bila lantas muncul perkataan "saya lebih merasa nyaman di kota Jogja".

Persoalannya sekarang banyak yang menyangsikan kenyamanan Jogja. Beberapa bulan lalu misalnya, saya mengunjungi pameran foto bertema "jogja berhenti nyaman" di Bentara Budaya Kompas Jogja. Acara yang digagas sejumlah wartawan itu ingin menunjukan bahwa sekarang ini kondisi Jogja sudah tidak bisa dikatakan nyaman lagi. Foto-foto yang dipajang pun menperlihatkan kondisi kota Jogja yang semerawut dan banyak permasalahan sosial yang mengganggu.

Persoalan kemacetan lalu lintas, kriminlitas, dan potret kemuskinan hanyalah sebagian saja dari banyaknya persoalan lain. Hal ini tidak hanya menjadi daftar hitam persoalan Jogja, tetapi juga kenyamanan yang harus kembali dipertanyakan.

Senin, 31 Maret 2014

Kota Impian?

Kota adalah sebuah impian. Di tempat ini sebuah mimpi dijunjung tinggi. Semua orang berkorban darah dan keringat demi kelangsungan hidup dan masa depannya. Seperti kata penulis kenamaan, Pramoedya Ananta Toer dalam "Letter to a Friend", "Sebelum saya datang ke Jakarta saya berpikir seperti kamu. Saya bermimpi bahwa saya akan melakukan hal-hal besar".

Sejak kepergiannya setahun silam, kawan saya telah merasa menemukan hidupnya di tempat perantauan berstatus ibu kota negara. Setidaknya itulah yang terucap dari mulutnya, di mana ia sekarang membanggakan diri -meski bukan takabur- telah sedikit mengangkat harkat dan martabatnya. Menjadi sopir truk pengankut minuman ringan adalah pekerjaan yang selama ini ia impikan.

Cerita di negeri perantauan adalah sama. Bukan saja senyum rasa bangga, melainkan juga wajah muram durja sebagai penutup rasa kesededihan. Perantauan tak selalu indah, tapi juga tak selamanya menyesekan. Ia sekedar bagian dari sebuah kisah yang dituliskan sesaat bersamaan seseorang sedang bermimpi membangun rumah.

Malam itu, satu tempat duduk di sebuah gerbong ekonomi saya berkenalan dengan seorang pria tua. Ia mengaku bernama Suharno (67) dan telah mengahabiskan hidupnya selama 60 tahun di Jakarta.

Suharno adalah cerminan seorang pria pemimpi ibu kota. Ia meninggalkan kampung halaman di Yogyakarta untuk kemudian memutuskan tak kembali ke rumah lagi. Dengan uang saku terbatas dan minim pengalaman Suharno meaksa diri tinggal di Kota Jakarta.

"Saya memutuskan meninggalkan Yogyakarta sejak remaja", kata Suharno. Saya sendiri tak tahu persis apa alasannya. Hanya yang pasti ia ingin mencari pekerjaan yang layak. Lebih dari itu Suharno adalah satu dari ribuan orang yang pengadu nasib.

Meski bertahan 60 tahun, cerita tak selamanya terdengar indah. Jakarta tempat Suharno mencari makan untuk anak-anaknya toh menjadi kotan yang kejam pula. Dua kali ia punya tanah digusur. Dua kali itu ia harus rela mengalah sebagai orang kecil. Di Jakarta tanah milik orang kecil hanya menunggu giliran untuk di gusur.

Cerita Suharno mengingatkan saya pada teman sopir truk. Apakah ia masih percaya dengan pilihannya? Apakah ia sanggup menaklukan kerasnya ibu kota?

Saat saya merenung kereta berjalan perlahan meninggalkan stasiun Cikampek. Sambil mendengarkan kisah Suharno, saya memalingkan kepala ke arah jendela. Nampak lampu lampu rumah dalam gelap. Saya berpikir di dalam sana keluarga sedang menunggu seseorang, sama seperti keluarga para penumpang kereta yang ditunggu oleh keluarga mereka di rumah. Tanah perantauan memang menyimpan dilema. Antara sebuah mimpi dan kerinduan akan sebuah rumah.

Minggu, 30 Maret 2014

Berburu Barang Antik

Saat saya berjalan ke arah selatan tak jauh dari Pasar Gede Surakarta, saya menjumpai sebuah toko kecil yang memampang banyak barang-barang antik. Ada sejumlah lukisan dan lukisan yang paling saya ingat adalah lukisan bung Karno. Lukisan presiden republik Indonesia itu digantung berjajar. Jumlahnya saya lupa, tapi mungkin lebih dari tiga.

Toko barang antik itu memajang pula benda-benda kecil yang tak kurang nilai historisnya. Mata uang logam dan kertas jadul paling mendominasi etalase. Yang lain adalah manik-manik, batu akik, perhiasan, jam tangan, dan bebatuan yang saya sendiri tak mengerti jenis dan asal muasalnya.

Saya sebenarnya sangat penasaran ingin tahu lebih banyak mengenai koleksi barang antik di toko itu. Sayang, sampai saya berdiri sekitar lima belas menit si penjual belum juga keluar. Saya lantas memilih pergi meninggalkan toko.

Toko yang baru saja saya kunjungi seperti toko yang menjual masa lalu. Memasuki toko saya serasa dibawa ke sebuah zaman puluhan tahun lalu. Ketika melihat koin uang logam yang memiliki nilai lima sen, saya tergiring pada zaman presiden Sukarno, dimana dulu kakek saya pernah hidup pada zaman ini.

Meski gagal mencari tahu seluk beluk toko "yang menjual puing-puing masa lalu itu", saya mendapatkan ide untuk berkunjung ke pasar Triwindu yang terletak persis di depan Pura Mangkunegaran. Ya, pasar Triwindu dikenal sebagai pasar yang secara khusus menjual barang-barang antik. Di pasar ini para pemburu barang antik datang dari penjuru negeri.

Konon, menurut cerita pasar Triwindu dibangun oleh Mangkunegara VII sebagai hadiah ulang tahun putrinya. Apakah triwindu berarti usia sang putri saat itu saya kurang tahu persis.

Versi lain yang pernah saya dengar, pasar Triwindu didirikan karena motif ekonomi. Ketika pasar ini didirikan, kondisi keuangan Mangkunegaran sedang sulit. Abdi dalem pura Mangkunegran mengalami keterlambatan pembayaran gaji. Karena alasan inilah para abdi dalem di sediakan semacam tempat berjualan di dekat pura Mangkunegaran. Menariknya, barang-barang yang dijual adalah barang-barang kraton yang terbilang antik dan bernilai historis.

Saya menyempatkan diri jalan dan meihat-lihat isi ke dalam pasar. Banyak benda yang tidak hanya unik, tetapi juga sangat sarat nilai historisnya. Saya menemukan bende yang masing-masing mewakili zamannya. Ada mesin penghitung, telepon, kaca mata, radio, dan senter yang mungkin dipakai pada periode 1960an.

Kendati tak berniat membeli apapun, jalan-jalan saya di pasar Triwindu telah mengantar saya pada pengalaman wisata sejarah yang mengasyikan.

image from google

Sabtu, 29 Maret 2014

Suram Tak Terawat, Kraton Surakarta yang Menyedihkan

Sepeda motor, mobil, dan bus berjalan merangkak di jalan sempit yang menghubungkan alun-alun utara dengan alun-alun selatan. Bunyi klakson sesekali memekakan telinga, menambah kekacauan jalan yang juga menuju kraton Surakarta Hadiningrat itu.

Saya berjalan kaki mencari penjual tiket sebelum masuk ke dalam museum kraton. Dibantu seorang tukang becak, saya kemudian membeli tiket masuk dengan harga Rp. 10.000.

Kraton Surakarta didirikan Pakubuwana II setelah kraton di Kartasura mengalami kerusakan parah akibat peperangan saudara. Dari kartasura sang raja memindahkan kratonnya 12 kilometer ke arah timur di desa sala. Pakubuwana mendirikan istana baru yang dinamai S urakarta. Istana Surakarta selesai dibangun tahun 1745.

Nampak dari luar kraton Surakarta sangat megah. Benteng yang mengelilingi kraton menjulang tinggi. Kemegahan dinding setara dengan bangunan kratonnya. Bangunan didominasi cat putih dengan selingan warna biru.

Wajah kraton Surakarta yang dilihat sekarang adalah hasil pembangunan Pakubuwana X. Hal ini dapat dilihat dari nama Pakubuwana X yang tertulis di sejumlah tembok kraton. Masa Pakubuwana X kraton Surakarta mengalami masa keemasan. Sejarawan Kuntowijoyo menyebut Pakubuwana X sebagai raja terbesar dalam sejarah kraton Surakarta.

Setelah mendapatkan karcis, saya melangkah masuk ke dalam kraton. Di dalam kraton terdapat satu komplek yang berfungsi sebagai museum. Museum kraton ini menyimpan berbagai benda pusaka kraton seperti kereta kuda, meriam, dan sebagainya.

Saya terkesan dengan koleksi museum kraton. Tapi saya merasa sedih melihat kondisinya. Museum kraton selain kurang pencahayaan, juga kotor tak terawat. Dinding cat yang berwarna putih karena tak terawat menjadi suram. Sarang laba-laba berayun di pojok dinding menimbulkan kesan tak enak dipandang.

Melihat kondisi bangunan itu saya sangat miris. Bangunan cagar budaya dengan nilai historis yang tinggi seperti hanya didiamkan untuk menunggu kemusnahanya. Saya hanya mengelus dada sambil berharap pemerintah Solo mau peduli dengan masa depan bangunan yang juga merupakan landmark kota ini.

Saat saya memotret beerapa sudut bangunan kraton, sekelompok murid SD tmpak antusias memasuki museum kraton. Mereka menenteng semacam buku catatan sambil mebdengar dengan hikmat pemandu wisata.


image from google

Segarnya Semangkuk Dawet Telasih

Panasnya udara Kota Solo tak menghalangi niatan saya berburu kuliner.Siang itu (29/3) saya mengunjungi tempat pertama dimana saya bisa mendapatkan aneka kuliner khas Solo. Tempat itu adalah Pasar Gede.

Pasar Gede cukup mudah dijangkau. Pasar ini terletak tak jauh dari Gladak, atau jalan yang menghubungkan gerbang kraton Surakarta dengan balai kota. Dari kraton hanya dibutuhkan berkendara paling lama 5 menit.

Selain legend, Pasar Gede menjadi salah satu pasar yang paling banyak dikunjungi warga Solo. Di pasar ini aneka kebutuhan dapur tersedia. Pasar ini menjadi sentranya buah dan sayur.

Salah satu kuliner khas yang saya temui di pasar ini adalah dawet telasih. Dawet ini sangat populer dan banyak dicaro. Dari segi rasa dan komposisinya, dawet telasih memang berbeda dengan dawet yang lain.

Saya pun berjalan menyusuri pasar untuk mencari penjual dawet telasih. Ternyata di pasar ini cukup terbilang.muda untuk mencari penjual dawet legendaris ini. Saya menemukan ada tiga penjual dawet telasih.

Perbedaan dawet telasih adalah pada campuran biji telasihnya. Biji telasih ini berbentuk kecil, sekilas nampak seperti biji buah naga. Rasanya unik. Biji ini menimbulkan kesan seperti jelly yang lembut saat dikunyah.

Selain telasih, semangkuk dawet telasih terdiri dari cendol, bubur sumsum, santan, dan air gula. Rasa segar dawet bertambah jika dimasukan berapa potongan es batu.

Siang itu saya benar benar puas merasaan segarnya dawet telasih.

image from google

Kamis, 31 Oktober 2013

Lihat, Dengar, Rasakan

Ada baiknya kita selalu memandang segala sesuatu di sekitar kita. Bila pikiran kita mau sedikit dipaksa untuk terbuka, maka ada banyak hal yang dapat kita lihat, dengar, dan rasakan. Satu lagi yang pasti, kita dapat belajar dari ketiga hal yang kita tangkap.

Kira-kira begitulah yang saya rasakan sore tadi. Pada suatu sore menjelang adzan maghrib, dua kesialan beruntun datang kepada saya. Pertama, sepeda motor saya kehabisan bensin di tengah perjalanan antara Yogyakarta-Magelang. Kedua, setelah bensin terisi dan berjalan sekira 5 kilometer tiba-tiba ban belakang sepeda motor saya kempes. Meskipun keduanya bisa jadi menjadi pengalaman yang tak mengenakan bagi siapa pun, saya justru menangkap cerita yang lain. 

Saat saya harus membeli satu liter bensin, saya menemukan sebuah warung kecil yang ditunggui seorang ibu berumur 60 tahunan. Warung itu sederhana, dilihat dari temboknya yang masih menggunakan kayu. Warung menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti sabun mandi, shampo, air minum, dan sebagainya. Si ibu penjaga warung hanya menunggui barang dagangannya sendirian!

Selepas mengisi bensin dan melanjutkan perjalanan pulang, sepeda motor saya kembali mengalami masalah. Kali ini ban belakang tiba-tiba saja kempes. Beruntung sekali, tembel ban berada tak jauh dari tempat kejadian. 

Seperti mengingatkanku pada ibu-ibu tua tadi, kini penambal ban yang saya temui juga berusia lanjut. Umurnya bahkan lebih tua lagi. Mungkin kira-kira 70-an tahun. Pak Tua itu bekerja sendirian. Ia membuka bengkel tambalnya pukul 08.00 pagi dan tutup pukul 19.00 petang. 

Dari dua contoh pribadi itu, saya mengagumi betapa usia tak menjadi halangan bagi seseorang untuk terus berjuang menjalani hidup. Keterbatasan bukanlah alasan untuk terus bertahan dan kemudian maju meraih tujuan yang kita inginkan. Ibu dan Pak Tua itu mengajarkan saya, tentang sebuah arti dari kerja keras tanpa mengenal kerebatasan dan usia.

image from google