Rabu, 26 Juni 2013

Ada Cerita di Balik Kesemrawutan Cirebon

Hari Sabtu (4/5) bulan Mei lalu, aku meluncur dari dataran tinggi Kuningan menuju kota pelabuhan di Pantai Utara Jawa yang amat terkenal, Cirebon. Tak begitu jauh untuk menempuh perjalanan dari Kuningan menuju Cirebon. Mengendarai mobil hanya butuh waktu kurang lebih tiga puluh menit dengan kondisi jalanan yang lumayan lapang.

Panas dan ruwet, itu kesan pertamaku saat memasuki kota yang hanya berjarak dua atau tiga kilometer dari bibir laut itu. Pemandangan seperti ini mengingatkanku pada kota pelabuhan lainnya di Jawa. Jakarta, Surabaya, Semarang, tiga kota pelabuhan yang berstatus internasional, adalah prototipe kota pelabuhan Jawa. Minim perhatian terhadap urusan penataan kota dan ketidaklayakan infrastruktur menjadi pemandangan khas anomali yang selalu menonjol di kota-kota pelabuhan tersebut.

Kalau aku tak salah mengingat, sejarawan kenamaan Prancis, Dennys Lombard, memasukan kota Cirebon ke dalam kategori kota pelabuhan kuno. Ciri yang menonjol pada jenis kota ini adalah penataan ruang yang kurang teratur. Dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2, diperlihatkan Dennys Lombard betapa Kota Cirebon sangat jauh dari penataan yang terstruktur rapi. Kenyataan inilah yang membedakan kota Cirebon dengan kota pedalaman Jawa seperti Yogyakarta atau Solo. Dibandingkan Cirebon, kedua kota belakangan ini membangun peradabannya dengan berpedoman pada konsep yang dikenal dengan istilah konsep “kosmologi”.



Tapi, benarkah kota Cirebon memang tak berkonsep seperti dikatakan Dennys Lombard? Jika dilihat dari kecenderungan kota-kota kuno yang menganut ideologi arsitektural kosmologis Hindu, Cirebon memang tidak sesuai dengan konsep tersebut. Malah, terkesan kosmologis Hindu sama sekali tidak nampak dalam kota ini. Penataan Kraton Kasepuhan, yang dalam pandangan umum kraton Jawa diidentikan sebagai pusat kosmos, tidak dibarengi dengan penataan ruang di luar dinding keraton. Pertumbuhan pemukiman padat yang tidak terkontrol di luar dinding krraton menjadi penyebab utama kesemrawutan kota ini.
Terlepas dari itu semua, Cirebon tetap memberi kesan pada kunjungan pertamaku ke kota ini. Kota ini adalah kota tua yang telah hidup sejak abad awal pengislaman. Kota ini meninggalkan jejak-jejak sejarah jika kita mau melihatnya secara lebih dekat. Peninggalan sejarah bisa kita temukan di tiap-tiap sudut kota dari mulai ceceran bangunan tua, folklore yang diceritakan dari mulut ke mulut, hingga penganan tradisional yang banyak dijajakan di emperan jalan. Semuanya mewarisi jejak masa lalu kota pelabuhan bernama asal Caruban yang berarti Udang itu.

Salah satu tempat paling suci yang aku kunjungi selama berada di kota ini adalah Makam Sunan Gunung Jati. Makam inilah yang dikunjungi para peziarah dari berbagai pelosok negeri. Tak hanya datang dari Jawa, para peziarah tak jarang berasal dari luar Jawa seperti Sumatera dan Kalimantan. Ratusan orang datang berombongan setiap harinya untuk memanjatkan doa di makam orang suci ini. Sejak dahulu kala, Sunan Gunung Jati dihormati dan dimasukan ke dalam jajaran ulama penyebar agama Islam di Pulau Jawa.

Saat aku memasuki area makam, gema suara doa-doa mengalun khusuk mengisyaratkan hati ini agar merendahkan diri. Aku pun tak sembarangan saat memasuki makam ini. Begitu dihormatinya sang ulama, sampai-sampai tak putus-putusnya orang berdatangan demi melihat makam Sunan Gunung Jati.


Berjalan-jalan mengamati makam, aku menemukan sisi keunikan bangunan makam. Dinding-dinding makam sebagian berhiaskan keramik-keramik yang berasal dari Cina. Sebuah pemandangan yang bagi orang awam sepertiku tampak aneh. Mengapa makam orang suci ini berhiaskan keramik-keramik dari Cina?
Menurut penuturan warga setempat, sejak zaman dulu Sunan Gunung Jati dikenal sebagai ulama yang memiliki hubungan dekat dengan orang-orang Cina. Bahkan, salah satu isteri sunan diyakini adalah seorang putri Cina. Bukti dari cerita ini bisa ditemukan di kompleks makam isteri Sunan Gunung Jati. Terletak persis bersebelahan dengan makam sunan, makam isteri Sunan Gunung Jati diwarnai dengan benda-benda yang biasanya hanya terdapat di klenteng Cina. Selain dinding komplek makam yang bercat merah dan dipenuhi pernak-pernik keramik dari Cina, di depan makan putri Cina tersebut terdapat tempat peletakan dupa yang identik sekali dengan tempat ibadah agama Konghuchu.


Keberadaan Sunan Gunung Jati dan akulturasi yang terjalin antara budaya Islam dan Cina, menguatkan posisi kota Cirebon sebagai kota pelabuhan yang selalu “terbuka”. Cirebon tidak hanya mampu mempertahankan perbaduan kebudayaan Jawa-Sunda yang telah melekat lama pada masyarakatnya, tetapi juga memberi kesempatan bagi masuknya unsur-unsur budaya lain. Barangkali tak salah, kalau Cirebon disebut sebagai pintu gerbang sekaligus tempat persilangan budaya yang beragam. Budaya Jawa-Sunda, budaya Islam, dan budaya Cina, berpadu menjadi orkestra yang indah.
Begitulah yang terpikir di benakku saat aku mengagumi kota ini di balik panas dan kesemrawutanya. Nilai-nilai historis ibarat panggung keseharian tempat di mana maysrakat Cirebon memainkan peranannya. Cirebon, si Roma dari Timur itu, tetap menarik bagi diriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar