Selasa, 04 Juni 2013

Kebahagian Malam

Aku harusnya bahagia. Aku harusnya bisa tersenyum. Bukankah aku masih diberi kesempatan memandangi langit yang hitam seperti biasanya. Dan aku pun masih bisa menghirup udara segar seperti hari-hari lalu. Lalu, apa pula yang kurang dalam hidup ini? Apakah anugerah dan kebahagiaan itu kurang?

Terkadang aku malu pada diriku sendiri. Aku bertanya-tanya, siapa diriku. Bagaimana aku bisa berdiri memijak bumi seperti sekarang. Bukankah aku dulu hanya sesosok anak ingusan tanpa punyai apa-apa. Bukankah aku terlahir lalu besar tanpa membawa apa-apa. Hanya bisa beranjak dewasa saja harusnya aku bisa bersyukur. Lalu, kenapa aku harus merasai terus ada yang kurang dalam hidup ini. Mengapa harus ada, seolah-olah beban berat menumpuk di dada dan kepala ini? Mengapa?

Apa sebenarnya takaran orang bahagia? Apakah orang-orang yang kaya? Orang-orang yang punya segudang uang dan bisa melakukan apa pun seenak perut mereka? Apakah orang bahagia itu orang yang bisa membeli orang lain? Orang yang bahagia itu orang yang puas bisa mengalahkan orang lain? Bisa membeli diri orang lain seenaknya. Apakah demikian itu?

Saat aku mengetik huruf per huruf kata-kata ini, aku sedang berada di pojokan sebuah kamar yang sempit. Sebuah kamar bercat putih yang panas dan pengap. Sebuah kamar yang tidak memberikan kebebasan padaku untuk menghirup udara sebebas-bebasnya. Sebuah kamar yang mirip penjara berukuran 3x3 dengan alas tidur tipis di atas lantai yang dingin. Dan sebuah kamar yang telah menyadarkanku bahwa hidup adalah ketika aku menuliskan huruf per huruf sambil menghirup perlahan udara yang pengap itu. Lalu, kenapa aku harus membayangkan tentang hidup yang berat padahal masih ada banyak kisah pilu yang beratnya melebihi dari pengalamanku di kamar malam ini?

Dan aku mengingat kata-kataku sendiri saat aku duduk sendiri merenungi hidup ini di salah satu sudut jalan Malioboro. Aku mengingat ketika di sekitarku orang-orang paruh baya yang semuanya berkumis itu, masih mengumbar tawa tanpa beban di atas kendaraan dan rumah tinggal sementara mereka bernama; becak. Ya, para tukang becak. Orang-orang yang tidak punyai derajat dan pengalaman terdidik sepertiku, ternyata lebih mulia memandangi hidup. Mereka masih bisa tersenyum, setidaknya untuk menghibur diri mereka agar selalu mengingat bahwa hidup ini tidak seperti banyak orang bilang. Hidup ini sederhana. Karena hidup adalah kayuhan becak dan laju gerak kendaraan roda tiga itu. Hidup itu tak perlu pikirkan soal malu melakukan apa yang bisa kita lakukan.

Tukang becak yang menyapaku dengan senyum mereka yang ramah mengingatkanku bahwa hidup untuk terus menganyuh dan tetap tersenyum. Kemana tujuan kita memang terkadang berbeda, tapi kini kita semua sedang berjuang mencapai tujuan yang kita cita-citakan. Kita sedang menuju impian yang kita ingin-inginkan. Tak pandang tukang becak, penjual rokok asongan, atau siapa pun itu, harusnya tetap melihat hidup sebagai sesuatu yang sangat sederhana. Apa yang kita lakukan sekarang adalah nafas kita di masa mendatang! Kebahagiaan adalah ketika kita ikhlas memandangi hidup kita sekarang. Kebahagiaan adalah ketika aku tersenyum sambil menuliskan kata-kataku ini. Kebahagiaanku, dan para tukang becak itu, adalah ketika aku bisa memandangi kebahagiaan orang-orang lain di malam ini.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar