Terkadang aku malu pada diriku
sendiri. Aku bertanya-tanya, siapa diriku. Bagaimana aku bisa berdiri memijak
bumi seperti sekarang. Bukankah aku dulu hanya sesosok anak ingusan tanpa
punyai apa-apa. Bukankah aku terlahir lalu besar tanpa membawa apa-apa. Hanya
bisa beranjak dewasa saja harusnya aku bisa bersyukur. Lalu, kenapa aku harus
merasai terus ada yang kurang dalam hidup ini. Mengapa harus ada, seolah-olah
beban berat menumpuk di dada dan kepala ini? Mengapa?
Apa sebenarnya takaran orang
bahagia? Apakah orang-orang yang kaya? Orang-orang yang punya segudang uang dan
bisa melakukan apa pun seenak perut mereka? Apakah orang bahagia itu orang yang
bisa membeli orang lain? Orang yang bahagia itu orang yang puas bisa
mengalahkan orang lain? Bisa membeli diri orang lain seenaknya. Apakah demikian
itu?
Saat aku mengetik huruf per huruf
kata-kata ini, aku sedang berada di pojokan sebuah kamar yang sempit. Sebuah
kamar bercat putih yang panas dan pengap. Sebuah kamar yang tidak memberikan
kebebasan padaku untuk menghirup udara sebebas-bebasnya. Sebuah kamar yang
mirip penjara berukuran 3x3 dengan alas tidur tipis di atas lantai yang dingin.
Dan sebuah kamar yang telah menyadarkanku bahwa hidup adalah ketika aku
menuliskan huruf per huruf sambil menghirup perlahan udara yang pengap itu.
Lalu, kenapa aku harus membayangkan tentang hidup yang berat padahal masih ada
banyak kisah pilu yang beratnya melebihi dari pengalamanku di kamar malam ini?
Dan aku mengingat kata-kataku
sendiri saat aku duduk sendiri merenungi hidup ini di salah satu sudut jalan
Malioboro. Aku mengingat ketika di sekitarku orang-orang paruh baya yang
semuanya berkumis itu, masih mengumbar tawa tanpa beban di atas kendaraan dan
rumah tinggal sementara mereka bernama; becak. Ya, para tukang becak.
Orang-orang yang tidak punyai derajat dan pengalaman terdidik sepertiku,
ternyata lebih mulia memandangi hidup. Mereka masih bisa tersenyum, setidaknya
untuk menghibur diri mereka agar selalu mengingat bahwa hidup ini tidak seperti
banyak orang bilang. Hidup ini sederhana. Karena hidup adalah kayuhan becak dan
laju gerak kendaraan roda tiga itu. Hidup itu tak perlu pikirkan soal malu
melakukan apa yang bisa kita lakukan.
Tukang becak yang menyapaku dengan
senyum mereka yang ramah mengingatkanku bahwa hidup untuk terus menganyuh dan
tetap tersenyum. Kemana tujuan kita memang terkadang berbeda, tapi kini kita
semua sedang berjuang mencapai tujuan yang kita cita-citakan. Kita sedang
menuju impian yang kita ingin-inginkan. Tak pandang tukang becak, penjual rokok
asongan, atau siapa pun itu, harusnya tetap melihat hidup sebagai sesuatu yang
sangat sederhana. Apa yang kita lakukan sekarang adalah nafas kita di masa
mendatang! Kebahagiaan adalah ketika kita ikhlas memandangi hidup kita
sekarang. Kebahagiaan adalah ketika aku tersenyum sambil menuliskan kata-kataku
ini. Kebahagiaanku, dan para tukang becak itu, adalah ketika aku bisa
memandangi kebahagiaan orang-orang lain di malam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar