Kamis, 03 Oktober 2013

Hari Kesaktian Pancasila 15 Tahun Pasca Reformasi

Bendera dwi warna itu dipasang setengah tiang, sore kemarin (30/9). Berderet di sepanjang jalan raya Borobudur, bendera kebangsaan Indonesia itu berkibar oleh tiupan angin dari arah selatan. Pemandangan ini membuka percakapan saya dengan seorang murid kelas I SMP yang penasaran.

“Mengapa bendera itu dipasang setengah tiang?”, tanya murid kelas 1 SMP. Mendengar pertanyaan itu tentu saja saya terkejut. Saya baru sadar kalau ternyata hari peringatan kesaktian pancasila yang jatuh setiap tanggal 1 Oktober, kini telah dilupakan.

Percakapan di atas mungkin terdengar sepele. Akan tetapi, bagi saya percakapan tersebut justru sangat menarik. Pelajar yang tidak tahu menahu mengenai peringatan hari kesaktian pancasila itu adalah cerminan dari jiwa zamannya sendiri. Si pelajar mewakili sebuah era, 15 tahun pasca reformasi.

Disadari atau tidak, era revormasi yang kini telah beranjak 15 tahun telah membentuk suatu sistem cultural yang berbeda. Bukan hanya ditunjukan dengan makin mantapnya sistem demokrasi, melainkan juga terdapat kesan yang kuat terus menipisnya warisan budaya turunan rezim Orde Baru. Kenyataan bahwa hari kesaktian pancasila telah luput dari perhatian masyarakat kebayanyakan adalah satu bukti mulai luturnya pengaruh budaya dan politik rezim Orde Baru.

Perlu dicatat, sebagai sebuah produk politik, hari kesaktian Pancasila ditetapkan pertama kali oleh Suharto melalui Keputusan Presiden tahun 1967. Merujuk pada keputusan itu, Suharto menjelaskan alasan peringatan hari kesaktian Pancasila yang jatuh pada 1 Oktober. Menurut Suharto, “..Hari 1 Oktober dengan demikian memiliki ciri dan corak yang khusus sebagai suatu hari untuk lebih mempertebal dan meresapkan keyakinan akan Kebenaran dan Kesaktian Pancasila sebagai satu-satunya pandangan hidup yang dapat mempersatukan seluruh Negara, Bangsa, dan Rakyat Indonesia.”

Pernyataan Suharto di atas menunjukan bahwa hari 1 Oktober bukan hanya diperingati untuk mengenang tujuh jendral yang terbunuh di lubang buaya, melainkan juga untuk mempertegas kembali bahwa ideologi Pancasila adalah harga mati. Bahwa tak ada ideologi lain, termasuk komunis, yang mampu menggantikan Pancasila sebagai falsafah negara. Keyakinan ini dibentuk dengan merujuk kepada peristiwa usaha kudeta G30 September yang berhasil digagalkan oleh pemerintah. Suharto membangun opini bahwa usaha kudeta itu didalangi oleh orang-orang komunis yang ingin menggantikan ideologi Pancasila menjadi komunis.

Kesaktian Pancasila, yang berarti kemenangan Pancasila menghadapi ancamannya pada tanggal 1 Oktober 1965, adalah pesan mendalam yang ingin dan terus disampaikan rezim Suharto selama pemerintahanya. Dengan peringatan kesaktian Pancasila, Suharto menegaskan Pancasila sebagai falsafah bangsa. Akan tetapi, dengan peringatan kesaktian Pancasila pula Suharto tak membenarkan ideologi lain tumbuh. Suharto memaksa untuk menempatkan Pancasila di atas ideologi-ideologi lain.

Dampaknya sudah bisa ditebak. Suharto menuntut supaya partai-partai politik dan organisasi massa menjunjung tinggi Pancasila. Tidak diperbolehkan tumbuh kelompok politik yang menolak Pancasila. Celakanya dengan dalih ini, Suharto membatasi atau malah melarang sejumlah organisasi politik dan massa, serta menekan kebebasan berpikir demi melanggengkan kekuasaannya.  

Pertanyaannya sekarang, setelah 15 tahun Suharto jatuh, apakah makna atau pesan yang akan tersampaikan dari hari kesaktian Pancasila masih sama seperti dulu ketika rezim Orde Baru berkuasa? Apakah hari kesaktian Pancasila masih dipahami dalam kerangka kepentingan politik Orde Baru? Apakah kita masih memaknainya sebagai kemenangan Pancasila, dan kemudian menolak ideologi lain untuk hidup sebagai konsekuensi dari kebebasan berpikir?

Dari sinilah, saya lantas berpendapat. Ada baiknya hari kesaktian Pancasila dimaknai dengan perspektif berbeda. Ia tidak lagi dirayakan sebagai kemenangan Pancasila di atas ideologi-ideologi lain, melainkan untuk mengingatkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sebagai falsafah kebangsaan yang kini makin luntur dalam kehidupan sehari-hari. Di luar itu, kesaktian Pancasila tidak lagi digunakan sebagai pembenaran atas penolakan ideologi lain dan kebebasan berpikir sebagaimana dulu dilakukan oleh Orde Baru. Kesaktian Pancasila adalah kemenangan Pancasila dan kebebasan berpikir.

 (Magelang, 1 Oktober 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar