Jika
sekarang menu ikan terbilang jarang sebagai santapan sehari-hari, maka di zaman
dulu ikan terbilang cukup sering dinikmati keluarga petani di desa-desa mekipun
tidak terlalu sering. Intensitasnya tidak tergolong sering, tapi menu ikan
biasanya tersaji sebanyak dua sampai tiga kali dalam seminggu.
Mengapa menu
ikan seakan hilang dari meja makan keluarga petani di desa-desa? Jawabanya
adalah, makin berjaraknya warga desa dengan sungai sebagai sumber mata air dan
penghidupan.
Budaya masayarakat
desa yang telah mengenal air ledeng menyebabkan kerenggangan hubungan dengan
sungai. Air ledeng yang bisa dipasang dengan mudah memberikan alternatif
efisien dalam penyediaan air bersih untuk kehidupan sehari-hari. Kenyataan ini
bertolakbelakang dengan sepuluh tahun yang lalu, ketika sungai masih menjadi
satu-satunya sumber mata air yang menghidupi warga desa.
Saya masih
ingat pengalaman saya semasa kecil. Waktu itu, sungai atau dalam bahasa Jawa
disebut kali adalah tempat kami
bermain. Sungai sekaligus juga sebagai tempat mandi, kakus alami, mencuci
pakaian hingga perabot rumah tangga, serta menjadi tempat bagi mereka yang
berprofesi sebagai pencari ikan. Dulu di kampung saya ada istilah “memet”, yang ditujukan bagi pekerjaan
mencari ikan di kalen atau sungai.
Pekerjaan
mencari ikan di sungai hanya dilakukan sebagai sambilan saja. Mencari ikan
hanya dilakukan pada saat-saat senggang atau masa istirahat dari pekerjaan di
sawah. Cara mencari ikan dilakukan dengan bermacam cara bergantung alat yang tersedia.
Ada yang menggunakan pancing, jala, atau jaring kecil yang disebut seser. Ada juga yang mencari ikan dengan
menggunakan racun alami.
Jenis ikan
yang bisa didapat dari sungai diantaranya adalah wader, tawes, mujahir, kuthuk,
dan beong. Dari ukurannya, masing-masing ikan sungai itu terbilang kecil. Ikan
wader misalnya, hanya seukuran dua jari manusia. Selain ikan, jenis lainnya
yang biasa ditemukan banyak di sungai adalah udang.
Para pencari
ikan lalu menjual hasil tangkapannya kepada warga desa. Harga yang dipatok pun
terbilang murah. Jika seorang tidak mau membeli ikan dari para penjualnya, maka
mereka akan mencari ikan sendiri. Ikan-ikan yang didapat tersebut kemudian
menjadi menu santapan mereka dengan cara digoreng atau dimasak bumbu pedas.
Itulah
cerita yang terbesit di benak saya, ketika saya menyantap satu per satu wader
goreng yang sangat gurih. Wader mengingatkan saya pada sungai, di mana dulu
kami semua sangat dekat dengan sumber mata air alam ini. Wader juga lah yang
menyadarkan saya mengenai alasan, mengapa menu ikan saat ini jarang sekali
tersaji di meja makan keluarga petani.
image from google |
(Magelang,
30 September 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar