Senin, 31 Maret 2014

Kota Impian?

Kota adalah sebuah impian. Di tempat ini sebuah mimpi dijunjung tinggi. Semua orang berkorban darah dan keringat demi kelangsungan hidup dan masa depannya. Seperti kata penulis kenamaan, Pramoedya Ananta Toer dalam "Letter to a Friend", "Sebelum saya datang ke Jakarta saya berpikir seperti kamu. Saya bermimpi bahwa saya akan melakukan hal-hal besar".

Sejak kepergiannya setahun silam, kawan saya telah merasa menemukan hidupnya di tempat perantauan berstatus ibu kota negara. Setidaknya itulah yang terucap dari mulutnya, di mana ia sekarang membanggakan diri -meski bukan takabur- telah sedikit mengangkat harkat dan martabatnya. Menjadi sopir truk pengankut minuman ringan adalah pekerjaan yang selama ini ia impikan.

Cerita di negeri perantauan adalah sama. Bukan saja senyum rasa bangga, melainkan juga wajah muram durja sebagai penutup rasa kesededihan. Perantauan tak selalu indah, tapi juga tak selamanya menyesekan. Ia sekedar bagian dari sebuah kisah yang dituliskan sesaat bersamaan seseorang sedang bermimpi membangun rumah.

Malam itu, satu tempat duduk di sebuah gerbong ekonomi saya berkenalan dengan seorang pria tua. Ia mengaku bernama Suharno (67) dan telah mengahabiskan hidupnya selama 60 tahun di Jakarta.

Suharno adalah cerminan seorang pria pemimpi ibu kota. Ia meninggalkan kampung halaman di Yogyakarta untuk kemudian memutuskan tak kembali ke rumah lagi. Dengan uang saku terbatas dan minim pengalaman Suharno meaksa diri tinggal di Kota Jakarta.

"Saya memutuskan meninggalkan Yogyakarta sejak remaja", kata Suharno. Saya sendiri tak tahu persis apa alasannya. Hanya yang pasti ia ingin mencari pekerjaan yang layak. Lebih dari itu Suharno adalah satu dari ribuan orang yang pengadu nasib.

Meski bertahan 60 tahun, cerita tak selamanya terdengar indah. Jakarta tempat Suharno mencari makan untuk anak-anaknya toh menjadi kotan yang kejam pula. Dua kali ia punya tanah digusur. Dua kali itu ia harus rela mengalah sebagai orang kecil. Di Jakarta tanah milik orang kecil hanya menunggu giliran untuk di gusur.

Cerita Suharno mengingatkan saya pada teman sopir truk. Apakah ia masih percaya dengan pilihannya? Apakah ia sanggup menaklukan kerasnya ibu kota?

Saat saya merenung kereta berjalan perlahan meninggalkan stasiun Cikampek. Sambil mendengarkan kisah Suharno, saya memalingkan kepala ke arah jendela. Nampak lampu lampu rumah dalam gelap. Saya berpikir di dalam sana keluarga sedang menunggu seseorang, sama seperti keluarga para penumpang kereta yang ditunggu oleh keluarga mereka di rumah. Tanah perantauan memang menyimpan dilema. Antara sebuah mimpi dan kerinduan akan sebuah rumah.

Minggu, 30 Maret 2014

Berburu Barang Antik

Saat saya berjalan ke arah selatan tak jauh dari Pasar Gede Surakarta, saya menjumpai sebuah toko kecil yang memampang banyak barang-barang antik. Ada sejumlah lukisan dan lukisan yang paling saya ingat adalah lukisan bung Karno. Lukisan presiden republik Indonesia itu digantung berjajar. Jumlahnya saya lupa, tapi mungkin lebih dari tiga.

Toko barang antik itu memajang pula benda-benda kecil yang tak kurang nilai historisnya. Mata uang logam dan kertas jadul paling mendominasi etalase. Yang lain adalah manik-manik, batu akik, perhiasan, jam tangan, dan bebatuan yang saya sendiri tak mengerti jenis dan asal muasalnya.

Saya sebenarnya sangat penasaran ingin tahu lebih banyak mengenai koleksi barang antik di toko itu. Sayang, sampai saya berdiri sekitar lima belas menit si penjual belum juga keluar. Saya lantas memilih pergi meninggalkan toko.

Toko yang baru saja saya kunjungi seperti toko yang menjual masa lalu. Memasuki toko saya serasa dibawa ke sebuah zaman puluhan tahun lalu. Ketika melihat koin uang logam yang memiliki nilai lima sen, saya tergiring pada zaman presiden Sukarno, dimana dulu kakek saya pernah hidup pada zaman ini.

Meski gagal mencari tahu seluk beluk toko "yang menjual puing-puing masa lalu itu", saya mendapatkan ide untuk berkunjung ke pasar Triwindu yang terletak persis di depan Pura Mangkunegaran. Ya, pasar Triwindu dikenal sebagai pasar yang secara khusus menjual barang-barang antik. Di pasar ini para pemburu barang antik datang dari penjuru negeri.

Konon, menurut cerita pasar Triwindu dibangun oleh Mangkunegara VII sebagai hadiah ulang tahun putrinya. Apakah triwindu berarti usia sang putri saat itu saya kurang tahu persis.

Versi lain yang pernah saya dengar, pasar Triwindu didirikan karena motif ekonomi. Ketika pasar ini didirikan, kondisi keuangan Mangkunegaran sedang sulit. Abdi dalem pura Mangkunegran mengalami keterlambatan pembayaran gaji. Karena alasan inilah para abdi dalem di sediakan semacam tempat berjualan di dekat pura Mangkunegaran. Menariknya, barang-barang yang dijual adalah barang-barang kraton yang terbilang antik dan bernilai historis.

Saya menyempatkan diri jalan dan meihat-lihat isi ke dalam pasar. Banyak benda yang tidak hanya unik, tetapi juga sangat sarat nilai historisnya. Saya menemukan bende yang masing-masing mewakili zamannya. Ada mesin penghitung, telepon, kaca mata, radio, dan senter yang mungkin dipakai pada periode 1960an.

Kendati tak berniat membeli apapun, jalan-jalan saya di pasar Triwindu telah mengantar saya pada pengalaman wisata sejarah yang mengasyikan.

image from google

Sabtu, 29 Maret 2014

Suram Tak Terawat, Kraton Surakarta yang Menyedihkan

Sepeda motor, mobil, dan bus berjalan merangkak di jalan sempit yang menghubungkan alun-alun utara dengan alun-alun selatan. Bunyi klakson sesekali memekakan telinga, menambah kekacauan jalan yang juga menuju kraton Surakarta Hadiningrat itu.

Saya berjalan kaki mencari penjual tiket sebelum masuk ke dalam museum kraton. Dibantu seorang tukang becak, saya kemudian membeli tiket masuk dengan harga Rp. 10.000.

Kraton Surakarta didirikan Pakubuwana II setelah kraton di Kartasura mengalami kerusakan parah akibat peperangan saudara. Dari kartasura sang raja memindahkan kratonnya 12 kilometer ke arah timur di desa sala. Pakubuwana mendirikan istana baru yang dinamai S urakarta. Istana Surakarta selesai dibangun tahun 1745.

Nampak dari luar kraton Surakarta sangat megah. Benteng yang mengelilingi kraton menjulang tinggi. Kemegahan dinding setara dengan bangunan kratonnya. Bangunan didominasi cat putih dengan selingan warna biru.

Wajah kraton Surakarta yang dilihat sekarang adalah hasil pembangunan Pakubuwana X. Hal ini dapat dilihat dari nama Pakubuwana X yang tertulis di sejumlah tembok kraton. Masa Pakubuwana X kraton Surakarta mengalami masa keemasan. Sejarawan Kuntowijoyo menyebut Pakubuwana X sebagai raja terbesar dalam sejarah kraton Surakarta.

Setelah mendapatkan karcis, saya melangkah masuk ke dalam kraton. Di dalam kraton terdapat satu komplek yang berfungsi sebagai museum. Museum kraton ini menyimpan berbagai benda pusaka kraton seperti kereta kuda, meriam, dan sebagainya.

Saya terkesan dengan koleksi museum kraton. Tapi saya merasa sedih melihat kondisinya. Museum kraton selain kurang pencahayaan, juga kotor tak terawat. Dinding cat yang berwarna putih karena tak terawat menjadi suram. Sarang laba-laba berayun di pojok dinding menimbulkan kesan tak enak dipandang.

Melihat kondisi bangunan itu saya sangat miris. Bangunan cagar budaya dengan nilai historis yang tinggi seperti hanya didiamkan untuk menunggu kemusnahanya. Saya hanya mengelus dada sambil berharap pemerintah Solo mau peduli dengan masa depan bangunan yang juga merupakan landmark kota ini.

Saat saya memotret beerapa sudut bangunan kraton, sekelompok murid SD tmpak antusias memasuki museum kraton. Mereka menenteng semacam buku catatan sambil mebdengar dengan hikmat pemandu wisata.


image from google

Segarnya Semangkuk Dawet Telasih

Panasnya udara Kota Solo tak menghalangi niatan saya berburu kuliner.Siang itu (29/3) saya mengunjungi tempat pertama dimana saya bisa mendapatkan aneka kuliner khas Solo. Tempat itu adalah Pasar Gede.

Pasar Gede cukup mudah dijangkau. Pasar ini terletak tak jauh dari Gladak, atau jalan yang menghubungkan gerbang kraton Surakarta dengan balai kota. Dari kraton hanya dibutuhkan berkendara paling lama 5 menit.

Selain legend, Pasar Gede menjadi salah satu pasar yang paling banyak dikunjungi warga Solo. Di pasar ini aneka kebutuhan dapur tersedia. Pasar ini menjadi sentranya buah dan sayur.

Salah satu kuliner khas yang saya temui di pasar ini adalah dawet telasih. Dawet ini sangat populer dan banyak dicaro. Dari segi rasa dan komposisinya, dawet telasih memang berbeda dengan dawet yang lain.

Saya pun berjalan menyusuri pasar untuk mencari penjual dawet telasih. Ternyata di pasar ini cukup terbilang.muda untuk mencari penjual dawet legendaris ini. Saya menemukan ada tiga penjual dawet telasih.

Perbedaan dawet telasih adalah pada campuran biji telasihnya. Biji telasih ini berbentuk kecil, sekilas nampak seperti biji buah naga. Rasanya unik. Biji ini menimbulkan kesan seperti jelly yang lembut saat dikunyah.

Selain telasih, semangkuk dawet telasih terdiri dari cendol, bubur sumsum, santan, dan air gula. Rasa segar dawet bertambah jika dimasukan berapa potongan es batu.

Siang itu saya benar benar puas merasaan segarnya dawet telasih.

image from google