Kamis, 31 Oktober 2013

Lihat, Dengar, Rasakan

Ada baiknya kita selalu memandang segala sesuatu di sekitar kita. Bila pikiran kita mau sedikit dipaksa untuk terbuka, maka ada banyak hal yang dapat kita lihat, dengar, dan rasakan. Satu lagi yang pasti, kita dapat belajar dari ketiga hal yang kita tangkap.

Kira-kira begitulah yang saya rasakan sore tadi. Pada suatu sore menjelang adzan maghrib, dua kesialan beruntun datang kepada saya. Pertama, sepeda motor saya kehabisan bensin di tengah perjalanan antara Yogyakarta-Magelang. Kedua, setelah bensin terisi dan berjalan sekira 5 kilometer tiba-tiba ban belakang sepeda motor saya kempes. Meskipun keduanya bisa jadi menjadi pengalaman yang tak mengenakan bagi siapa pun, saya justru menangkap cerita yang lain. 

Saat saya harus membeli satu liter bensin, saya menemukan sebuah warung kecil yang ditunggui seorang ibu berumur 60 tahunan. Warung itu sederhana, dilihat dari temboknya yang masih menggunakan kayu. Warung menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti sabun mandi, shampo, air minum, dan sebagainya. Si ibu penjaga warung hanya menunggui barang dagangannya sendirian!

Selepas mengisi bensin dan melanjutkan perjalanan pulang, sepeda motor saya kembali mengalami masalah. Kali ini ban belakang tiba-tiba saja kempes. Beruntung sekali, tembel ban berada tak jauh dari tempat kejadian. 

Seperti mengingatkanku pada ibu-ibu tua tadi, kini penambal ban yang saya temui juga berusia lanjut. Umurnya bahkan lebih tua lagi. Mungkin kira-kira 70-an tahun. Pak Tua itu bekerja sendirian. Ia membuka bengkel tambalnya pukul 08.00 pagi dan tutup pukul 19.00 petang. 

Dari dua contoh pribadi itu, saya mengagumi betapa usia tak menjadi halangan bagi seseorang untuk terus berjuang menjalani hidup. Keterbatasan bukanlah alasan untuk terus bertahan dan kemudian maju meraih tujuan yang kita inginkan. Ibu dan Pak Tua itu mengajarkan saya, tentang sebuah arti dari kerja keras tanpa mengenal kerebatasan dan usia.

image from google

Kamis, 03 Oktober 2013

Menu Makan Ikan dalam Tradisi Petani

Wader goreng tepung menjadi menu makan siang saya hari ini. Meski hanya menyantap beberapa ekor saja, makan siang dengan ditemani wader goreng serasa nikmat sekali. Maklum, menu jenis ikan jarang ditemui dalam daftar menu harian bagi kebanyakan keluarga petani saat ini. 

Jika sekarang menu ikan terbilang jarang sebagai santapan sehari-hari, maka di zaman dulu ikan terbilang cukup sering dinikmati keluarga petani di desa-desa mekipun tidak terlalu sering. Intensitasnya tidak tergolong sering, tapi menu ikan biasanya tersaji sebanyak dua sampai tiga kali dalam seminggu.

Mengapa menu ikan seakan hilang dari meja makan keluarga petani di desa-desa? Jawabanya adalah, makin berjaraknya warga desa dengan sungai sebagai sumber mata air dan penghidupan.

Budaya masayarakat desa yang telah mengenal air ledeng menyebabkan kerenggangan hubungan dengan sungai. Air ledeng yang bisa dipasang dengan mudah memberikan alternatif efisien dalam penyediaan air bersih untuk kehidupan sehari-hari. Kenyataan ini bertolakbelakang dengan sepuluh tahun yang lalu, ketika sungai masih menjadi satu-satunya sumber mata air yang menghidupi warga desa.

Saya masih ingat pengalaman saya semasa kecil. Waktu itu, sungai atau dalam bahasa Jawa disebut kali adalah tempat kami bermain. Sungai sekaligus juga sebagai tempat mandi, kakus alami, mencuci pakaian hingga perabot rumah tangga, serta menjadi tempat bagi mereka yang berprofesi sebagai pencari ikan. Dulu di kampung saya ada istilah “memet”, yang ditujukan bagi pekerjaan mencari ikan di kalen atau sungai.

Pekerjaan mencari ikan di sungai hanya dilakukan sebagai sambilan saja. Mencari ikan hanya dilakukan pada saat-saat senggang atau masa istirahat dari pekerjaan di sawah. Cara mencari ikan dilakukan dengan bermacam cara bergantung alat yang tersedia. Ada yang menggunakan pancing, jala, atau jaring kecil yang disebut seser. Ada juga yang mencari ikan dengan menggunakan racun alami.

Jenis ikan yang bisa didapat dari sungai diantaranya adalah wader, tawes, mujahir, kuthuk, dan beong. Dari ukurannya, masing-masing ikan sungai itu terbilang kecil. Ikan wader misalnya, hanya seukuran dua jari manusia. Selain ikan, jenis lainnya yang biasa ditemukan banyak di sungai adalah udang.

Para pencari ikan lalu menjual hasil tangkapannya kepada warga desa. Harga yang dipatok pun terbilang murah. Jika seorang tidak mau membeli ikan dari para penjualnya, maka mereka akan mencari ikan sendiri. Ikan-ikan yang didapat tersebut kemudian menjadi menu santapan mereka dengan cara digoreng atau dimasak bumbu pedas.

Itulah cerita yang terbesit di benak saya, ketika saya menyantap satu per satu wader goreng yang sangat gurih. Wader mengingatkan saya pada sungai, di mana dulu kami semua sangat dekat dengan sumber mata air alam ini. Wader juga lah yang menyadarkan saya mengenai alasan, mengapa menu ikan saat ini jarang sekali tersaji di meja makan keluarga petani.  

image from google

(Magelang, 30 September 2013)

Hari Kesaktian Pancasila 15 Tahun Pasca Reformasi

Bendera dwi warna itu dipasang setengah tiang, sore kemarin (30/9). Berderet di sepanjang jalan raya Borobudur, bendera kebangsaan Indonesia itu berkibar oleh tiupan angin dari arah selatan. Pemandangan ini membuka percakapan saya dengan seorang murid kelas I SMP yang penasaran.

“Mengapa bendera itu dipasang setengah tiang?”, tanya murid kelas 1 SMP. Mendengar pertanyaan itu tentu saja saya terkejut. Saya baru sadar kalau ternyata hari peringatan kesaktian pancasila yang jatuh setiap tanggal 1 Oktober, kini telah dilupakan.

Percakapan di atas mungkin terdengar sepele. Akan tetapi, bagi saya percakapan tersebut justru sangat menarik. Pelajar yang tidak tahu menahu mengenai peringatan hari kesaktian pancasila itu adalah cerminan dari jiwa zamannya sendiri. Si pelajar mewakili sebuah era, 15 tahun pasca reformasi.

Disadari atau tidak, era revormasi yang kini telah beranjak 15 tahun telah membentuk suatu sistem cultural yang berbeda. Bukan hanya ditunjukan dengan makin mantapnya sistem demokrasi, melainkan juga terdapat kesan yang kuat terus menipisnya warisan budaya turunan rezim Orde Baru. Kenyataan bahwa hari kesaktian pancasila telah luput dari perhatian masyarakat kebayanyakan adalah satu bukti mulai luturnya pengaruh budaya dan politik rezim Orde Baru.

Perlu dicatat, sebagai sebuah produk politik, hari kesaktian Pancasila ditetapkan pertama kali oleh Suharto melalui Keputusan Presiden tahun 1967. Merujuk pada keputusan itu, Suharto menjelaskan alasan peringatan hari kesaktian Pancasila yang jatuh pada 1 Oktober. Menurut Suharto, “..Hari 1 Oktober dengan demikian memiliki ciri dan corak yang khusus sebagai suatu hari untuk lebih mempertebal dan meresapkan keyakinan akan Kebenaran dan Kesaktian Pancasila sebagai satu-satunya pandangan hidup yang dapat mempersatukan seluruh Negara, Bangsa, dan Rakyat Indonesia.”

Pernyataan Suharto di atas menunjukan bahwa hari 1 Oktober bukan hanya diperingati untuk mengenang tujuh jendral yang terbunuh di lubang buaya, melainkan juga untuk mempertegas kembali bahwa ideologi Pancasila adalah harga mati. Bahwa tak ada ideologi lain, termasuk komunis, yang mampu menggantikan Pancasila sebagai falsafah negara. Keyakinan ini dibentuk dengan merujuk kepada peristiwa usaha kudeta G30 September yang berhasil digagalkan oleh pemerintah. Suharto membangun opini bahwa usaha kudeta itu didalangi oleh orang-orang komunis yang ingin menggantikan ideologi Pancasila menjadi komunis.

Kesaktian Pancasila, yang berarti kemenangan Pancasila menghadapi ancamannya pada tanggal 1 Oktober 1965, adalah pesan mendalam yang ingin dan terus disampaikan rezim Suharto selama pemerintahanya. Dengan peringatan kesaktian Pancasila, Suharto menegaskan Pancasila sebagai falsafah bangsa. Akan tetapi, dengan peringatan kesaktian Pancasila pula Suharto tak membenarkan ideologi lain tumbuh. Suharto memaksa untuk menempatkan Pancasila di atas ideologi-ideologi lain.

Dampaknya sudah bisa ditebak. Suharto menuntut supaya partai-partai politik dan organisasi massa menjunjung tinggi Pancasila. Tidak diperbolehkan tumbuh kelompok politik yang menolak Pancasila. Celakanya dengan dalih ini, Suharto membatasi atau malah melarang sejumlah organisasi politik dan massa, serta menekan kebebasan berpikir demi melanggengkan kekuasaannya.  

Pertanyaannya sekarang, setelah 15 tahun Suharto jatuh, apakah makna atau pesan yang akan tersampaikan dari hari kesaktian Pancasila masih sama seperti dulu ketika rezim Orde Baru berkuasa? Apakah hari kesaktian Pancasila masih dipahami dalam kerangka kepentingan politik Orde Baru? Apakah kita masih memaknainya sebagai kemenangan Pancasila, dan kemudian menolak ideologi lain untuk hidup sebagai konsekuensi dari kebebasan berpikir?

Dari sinilah, saya lantas berpendapat. Ada baiknya hari kesaktian Pancasila dimaknai dengan perspektif berbeda. Ia tidak lagi dirayakan sebagai kemenangan Pancasila di atas ideologi-ideologi lain, melainkan untuk mengingatkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sebagai falsafah kebangsaan yang kini makin luntur dalam kehidupan sehari-hari. Di luar itu, kesaktian Pancasila tidak lagi digunakan sebagai pembenaran atas penolakan ideologi lain dan kebebasan berpikir sebagaimana dulu dilakukan oleh Orde Baru. Kesaktian Pancasila adalah kemenangan Pancasila dan kebebasan berpikir.

 (Magelang, 1 Oktober 2013)