Bendera dwi warna itu dipasang setengah
tiang, sore kemarin (30/9). Berderet di sepanjang jalan raya Borobudur, bendera
kebangsaan Indonesia itu berkibar oleh tiupan angin dari arah selatan.
Pemandangan ini membuka percakapan saya dengan seorang murid kelas I SMP yang
penasaran.
“Mengapa bendera itu dipasang setengah
tiang?”, tanya murid kelas 1 SMP. Mendengar pertanyaan itu tentu saja saya
terkejut. Saya baru sadar kalau ternyata hari peringatan kesaktian pancasila
yang jatuh setiap tanggal 1 Oktober, kini telah dilupakan.
Percakapan di atas mungkin terdengar sepele.
Akan tetapi, bagi saya percakapan tersebut justru sangat menarik. Pelajar yang
tidak tahu menahu mengenai peringatan hari kesaktian pancasila itu adalah
cerminan dari jiwa zamannya sendiri. Si pelajar mewakili sebuah era, 15 tahun
pasca reformasi.
Disadari atau tidak, era revormasi yang kini
telah beranjak 15 tahun telah membentuk suatu sistem cultural yang berbeda.
Bukan hanya ditunjukan dengan makin mantapnya sistem demokrasi, melainkan juga terdapat
kesan yang kuat terus menipisnya warisan budaya turunan rezim Orde Baru.
Kenyataan bahwa hari kesaktian pancasila telah luput dari perhatian masyarakat
kebayanyakan adalah satu bukti mulai luturnya pengaruh budaya dan politik rezim
Orde Baru.
Perlu dicatat, sebagai sebuah produk politik,
hari kesaktian Pancasila ditetapkan pertama kali oleh Suharto melalui Keputusan
Presiden tahun 1967. Merujuk pada keputusan itu, Suharto menjelaskan alasan
peringatan hari kesaktian Pancasila yang jatuh pada 1 Oktober. Menurut Suharto,
“..Hari 1 Oktober dengan demikian memiliki ciri dan corak yang khusus sebagai
suatu hari untuk lebih mempertebal dan meresapkan keyakinan akan Kebenaran dan
Kesaktian Pancasila sebagai satu-satunya
pandangan hidup yang dapat mempersatukan seluruh Negara, Bangsa, dan Rakyat
Indonesia.”
Pernyataan Suharto di atas menunjukan bahwa
hari 1 Oktober bukan hanya diperingati untuk mengenang tujuh jendral yang
terbunuh di lubang buaya, melainkan juga untuk mempertegas kembali bahwa
ideologi Pancasila adalah harga mati. Bahwa tak ada ideologi lain, termasuk
komunis, yang mampu menggantikan Pancasila sebagai falsafah negara. Keyakinan
ini dibentuk dengan merujuk kepada peristiwa usaha kudeta G30 September yang berhasil
digagalkan oleh pemerintah. Suharto membangun opini bahwa usaha kudeta itu
didalangi oleh orang-orang komunis yang ingin menggantikan ideologi Pancasila
menjadi komunis.
Kesaktian Pancasila, yang berarti kemenangan
Pancasila menghadapi ancamannya pada tanggal 1 Oktober 1965, adalah pesan
mendalam yang ingin dan terus disampaikan rezim Suharto selama pemerintahanya.
Dengan peringatan kesaktian Pancasila, Suharto menegaskan Pancasila sebagai
falsafah bangsa. Akan tetapi, dengan peringatan kesaktian Pancasila pula
Suharto tak membenarkan ideologi lain tumbuh. Suharto memaksa untuk menempatkan
Pancasila di atas ideologi-ideologi lain.
Dampaknya sudah bisa ditebak. Suharto
menuntut supaya partai-partai politik dan organisasi massa menjunjung tinggi
Pancasila. Tidak diperbolehkan tumbuh kelompok politik yang menolak Pancasila.
Celakanya dengan dalih ini, Suharto membatasi atau malah melarang sejumlah
organisasi politik dan massa, serta menekan kebebasan berpikir demi
melanggengkan kekuasaannya.
Pertanyaannya sekarang, setelah 15 tahun
Suharto jatuh, apakah makna atau pesan yang akan tersampaikan dari hari
kesaktian Pancasila masih sama seperti dulu ketika rezim Orde Baru berkuasa? Apakah
hari kesaktian Pancasila masih dipahami dalam kerangka kepentingan politik Orde
Baru? Apakah kita masih memaknainya sebagai kemenangan Pancasila, dan kemudian
menolak ideologi lain untuk hidup sebagai konsekuensi dari kebebasan berpikir?
Dari sinilah, saya lantas berpendapat. Ada
baiknya hari kesaktian Pancasila dimaknai dengan perspektif berbeda. Ia tidak
lagi dirayakan sebagai kemenangan Pancasila di atas ideologi-ideologi lain,
melainkan untuk mengingatkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila itu sebagai falsafah kebangsaan yang kini makin luntur dalam kehidupan
sehari-hari. Di luar itu, kesaktian Pancasila tidak lagi digunakan sebagai
pembenaran atas penolakan ideologi lain dan kebebasan berpikir sebagaimana dulu
dilakukan oleh Orde Baru. Kesaktian Pancasila adalah kemenangan Pancasila dan
kebebasan berpikir.
(Magelang,
1 Oktober 2013)